Tradisi yang belakangan ini semakin marak selama Ramadhan adalah buka puasa bersama. Berbagai kalangan, dari seluruh lapisan masyarakat menggelar buka puasa dengan ragamnya masing-masing. Ini bukan sekedar soal makan bersama, tetapi di situ, terdapat nilai yang lebih luhur, seperti terjalinnya silaturrahmi yang sebelumnya kurang mendapat perhatian mengingat berbagai kesibukan yang seolah-olah tiada habisnya. Ramadhan, mengingatkan kembali akan kodrat manusia sebagai makhluk sosial untuk bersosialisasi dengan yang lain.
Buka puasa bersama merupakan salah satu sunnah Nabi. Rasul mengatakan bahwa memberi makan orang yang berbuka mendapat pahala seperti berpuasa. Inilah yang menjadi alasan banyak orang memberi makanan untuk berbuka. Ada banyak bentuk tradisi berbuka. Yang paling umum adalah pemberian takjil kepada jamaah shalat Maghrib yang berbuka puasa di masjid-masjid. Di daerah pedesaan, penduduk di sekitar masjid biasanya secara bergiliran menyediakan hidangan berbuka dan cemilan untuk yang bertadarrus di masjid sampai tengah malam. Di masjid daerah perkotaan, dana berbuka bersama diambil dari para donatur.
Tradisi ini terus berkembang dengan munculnya kebiasaan masyarakat yang mengundang kolega, keluarga, dan kenalannya untuk berbuka puasa di rumahnya disertai dengan ceramah agama singkat yang biasa disebut kultum (kuliah tujuh menit) sebelum Maghrib. Bagi orang berpunya, tentu saja, menu yang disajikan merupakan makanan mewah dengan berbagai variasi sebagai penghormatan kepada para undangan yang hadir. Sementara bagi anak-anak muda cukup menggelar buka puasa bersama di restoran fastfood. Beda lagi dengan kalangan aktivis yang biasanya diawali dengan menggelar sebuah diskusi sebelum diakhiri dengan buka puasa bersama. Yang paling sibuk adalah para ustadz yang selama Ramadhan ini jadwalnya sudah penuh untuk mengisi kultum.
Nilai terbesar dari buka puasa bersama ini sebenarnya bukan pada acara makan-makannya. Ini hanya menjadi sarana untuk bertemu. Di sela-sela makan inilah para hadirin bisa dengan santai membicarakan banyak hal, mulai menanyakan kabar keluarga, kesehatan, karier, atau persoalan keseharian yang dihadapi masing-masing pihak. Tak jarang, dari pertemuan ini, lahir kerjasama atau kesepakatan-kesepakatan yang membawa manfaat.
Di Jakarta, tradisi buka puasa bersama bisa dikatakan menggantikan tradisi silaturrahmi saat lebaran karena saat Idulfitri ini, banyak orang pulang kampung sampai seminggu setelahnya sehingga saat kembali ke Jakarta, sudah merasa capek dan kehilangan momentum silaturrahmi. Bagi mereka yang tidak pulang kampung atau sudah menjadi orang Jakarta, kunjungan ke rumah yang akrab lebih dikhususkan kepada anggota keluarga dekat. Sementara itu tradsi halal bihalal biasanya lebih formal karena kebanyakan diselenggarakan oleh institusi.
Tak lupa, jika acara buka puasa bersama ini diselenggarakan oleh orang kaya, biasanya ada bingkisan yang diberikan, entah berupa sarung, baju koko atau sembako. Ini tentu akan sangat bermakna bagi mereka yang membutuhkan. Apalagi mengingat waktu Lebaran banyak sekali kebutuhan untuk merayakannya.
Tradisi yang baik ini, seharusnya menjadi awal memupuk kesalehan sosial dengan tetap menjaga silaturrahmi dan berbagi. Bagaimana agar tradisi silaturrahmi ini tidak hanya ramai di bulan Ramadhan, inilah yang tampaknya harus kita wujudkan bersama-sama. Sesungguhnya silaturrahmi menambah umur dan memperbanyak rezeki. (Mukafi Niam)