Risalah Redaksi

Dikader Funding

Rabu, 24 Agustus 2005 | 11:23 WIB

Dalam pembukaan Rapat pleno PBNU beberapa waktu yang lalu, ketua Umum PBNU Hasyim Muzadi mengungkap beberapa persoalan yang dihadapi NU saat ini dan mendatang. Salah satu pokok yang serius disoroti adalah terjadinya perkembangan pemikiran yang dinamis di lingkungan jamiyah ulama ini. Namun di sayangkan dalam beras ada kerikil, di tengah para pemikir NU itu terdapat kelompok yang berpemikiran dan berperilaku menyebrang dari tadisi NU yang Sunni-Syafii.
Menurut Sinyalemen Ketua umum PBNU itu bahwa hal itu terjadi karena saat ini banyak anak muda NU yang dikader oleh funding, yang selama ini melatih dan membiayai kegiatan mereka, sehingga mereka lebih berpikir sebagai orang barat dalam melihat Islam dan tradisi, ketimbang orang NU yang menjaga dan mengembangkan tradisinya sendiri. Hal yang paling menonjol yang disoroti para ulama adalah keberanian mereka mendekonstruksi syariah dan Al-Quran.


Lontaran tersebut tidak lebih sebagai otokritik yang disampaikan ketua umum NU pada para pimpinan lembaga yang sedang ditugasi menyusun program, agar mereka lebih gigih mengkader kalangan muda NU sesuai dengan karakter ahlussunnah wal jamaah. Selama ini memang baik kalangan pengurus PBNU maupun pimpinan lembaga dan badan otonom di NU hampir tidak memikirkan kaderisasi bahkan regenerasi, maka tidak aneh akhirnya para kader NU dikader kelompok lain.
Salah satu contoh kongkrit adalah, para aktivis muda NU yang menjadi pelopor gerakan reformasi yang tergabung dalam Forkot maupun Famred yang kemudian kuliah mereka banyak terlantar. Kalangan NU yang memetik buah reformasi tersebut dengan menjadi anggota Parlemen, menjadi pejabat tinggi, menjadi menteri, mereka tidak melakukan kaderisasi pada kalangan muda NU yang berjasa dalam memposisikan mereka, sehingga banyak anak muda NU yang putus kuliah, dan tidak memiliki pekerjaan tetap.

<>


Mereka itu kemudian menyebar ke mana-mana dan paling mudah bergabung dengan LSM atau membentuk lembaga sendiri yang kemudian mengadakan kerjasama dengan berbagai funding agency asing, dengan dana dan fasilitas yang melimpah. Dari situ kemudian mereka yang sebelumnya hanya mengenal dunia pergerakan yang penuh pengabdian dan pengorbanan akhirnya mulai mengenal proyek, yang serba uang. Sementara tema kegiatan terpaksa harus menyesuaikan dengan agenda funding, begitu pula ideology pergerakannya akhirnya ikut menyesuaikan. Karena memang funding mempunyai spesifikasi sendiri. Tentu saja banyak pengalaman diperoleh para kader NU di situ. Apalagi untuk sebuah kegiatan mereka mendapat pelatihan secara intensif baik di dalam maupun di luar negeri.


Pada umumnya mereka memandang funding adalah lembaga kemanusiaan yang baik hati, yang seluruh agenda kegiatannya ditujukan pada peningkatan harkat manusia. Mereka tidak pernah melihat bahwa funding agency itu bagian tak terpisahkan dari kapitalisme dan imperialisme global. Memang kegiatan organisiasi sosial itu sepenuhnya membela kepentingan rakyat, tetapi gerakan mereka sangat terbatas,  sehingga seradikal apapun sikap mereka, masih dapat dikendalikan,  tidak akan menggangu struktur kapitalisme global yang bercokol kuat di sini. Apalagi biasanya para aktivis itu tidak mempersoalkan struktur dasar dari imperialisme itu yakni intervensi kekuasaan pada negara dan bangsa. Sebaliknya para kader itu sedikit banyak telah dicitarasakan seperti barat, dengan sikap yang serba liberal dan permissive atas nama toleransi.


Memang selama ini yang disoroti adalah sikap mereka yang dianggap murang tata, melanggar norma yaitu melakukan gugatan terhadap Al-Quran dan Syariat demi kelancaran agenda demokrasi dan kemajuan lainnya. Ini memang salah satu inkonsistensi mereka. Selama ini mereka yang mengadopsi teori dekonstruksi itu hanya berani medekonstruksi agama, lalu mendekonstruksi Pancasila. Tetapi mereka tidak berani menggugat gagasan dasar tentang demokrasi, Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, atau beberapa Konvensi Internasional yang lain.


Hal itu bisa dimengerti kalau mendekonstruksi agama paling hanya dimarahi para ulama, atau diancam kelompok Islam garis keras. Tetapi kalau berani mendekonstruksi demokrasi mereka akan distop bantuannya oleh para funding, sebab tidak sesuai dengan agenda mereka, akhirnya kegiatan mereka akan berhenti, sebab mereka itu selama ini terlalu terbiasa dengan sistem proyek, tidak terbiasa kerja bakti, sehingga voluntarisme, kesukarelaan  menjadi pudar.
Sebenarnya yang paling menonjol dari para kader funding itu adalah disamping hilangnya rasa pengabdian, diganti dengan semangat kerja bayaran, tetapi dengan mengganti hubungan sosial yang bersifat ideologis, emosional diganti dengan hubungan yang sifatnya praktis-fungsional.

Dengan demikian ikatan kekerabatan di antara mereka juga pudar. Demikian juga ikatan kejamaahan mereka juga luntur. Karena itu, kelompok yang disinyalir sebagai kader funding itu datang dari daerah mereka tidak membangun aliansi atau silaturrahmi dengan PBNU di Jalan Kramat, atau ke pesantren Ciganjur atau ke pusat-pusat aktivitas NU yang lain, tetapi mereka itu hanya berhubungan dengan para funding masing-masing, atau ke kedutaan  dan para mitra kerjanya.


Sebuah ungkapan ironis, kalau selama ini dengan alasan toleransi, maka ketika berdoa dalam sebuah acara biasanya pemimpin doa mempersilahkan hadirin untuk berdoa menurut agama dan kepercayaan masing-masing. Kemudian muncul sindiran dari kalangan aktivis sendiri dengan ungkapan silahkan berdoa sesuai dengan funding masing-masing. Itu sebagai pertanda dan sekaligus protes  bahwa selama ini mereka berpikir dan beraktivitas sangat ditentukan melalui skema dan planing yang dibuat oleh fundingnya.


Bahkan banyak tokoh NU yang tidak hanya tidak bisa mengkader para gernerasi muda NU tetapi mereka juga tidak bisa mengkader anaknya sendiri. Terbukti banyak anak tokoh NU yang tidak mengenal NU apalagi ber