Risalah Redaksi

Donald Trump dan Kampanye Islamophobia

Jumat, 11 Desember 2015 | 12:03 WIB

Penyataan Donald Trump, kandidat presiden Amerika Serikat, yang ingin melarang Muslim masuk ke Amerika Serikat menjadi sorotan dunia. Banyak sekali institusi atau tokoh yang mengecam apa yang disampaikannya. Bahkan apa yang disampaikannya menimbulkan permasahan di Partai Republik dimana ia berusaha mendapatkan kendaraan politik untuk nyalon presiden.<> Ini adalah kali kesekian milyarder ini mendiskreditkan Muslim. Dalam dunia yang semakin terbuka, semakin menghargai keberadaan kelompok lain, pernyataan tersebut menjadi absurd.

Sesungguhnya fenomena islamophobia ini bukanlah hal yang aneh di Amerika Serikat, Eropa atau tempat di mana Muslim menjadi minoritas. Di Belanda terdapat nama Geert Wilders yang terus-menerus menghina Islam dan antiimigran untuk meraih simpati. Ketidakpahaman akan ajaran Islam yang utuh pada sebagian besar masyarakat di Barat dieksploitasi oleh kelompok-kelompok ekstrem yang membenci Muslim sehingga menjadikan wajah Islam terlihat buruk. Posisi Muslim di daerah minoritas akhirnya semakin menderita dengan adanya upaya pembiasan pandangan yang dilakukan secara sistematis ini. Memiliki identitas Muslim kini menjadi sesuatu yang bisa menyulitkan. Ketika masuk negara tertentu, orang dari negara mayoritas Muslim mendapat perlakukan dan pengawasan yang tidak mengenakkan. 

Para politisi tersebut hanya mengejar popularitas untuk mendulang suara dengan menggunakan sentimen kebencian terhadap Muslim sampa memperdulikan harmoni dalam bermasyarakat. Mereka mendapat amunisi dari tindakan ekstremis Muslim yang menggunakan kekerasan atas nama agama yang sesungguhnya tidak mencerminkan nilai-nilai Islam, bahkan mayoritas Muslim sendiri menolak apa yang dilakukan oleh para ekstremis tersebut. 

Kelompok garis keras ada dalam setiap agama dan siapapun bisa menjadi korbannya. Di beberapa negara seperti Myanmar dan Tiongkok, Muslim mendapat kesulitan menjalankan hak-haknya beribadah. Di Indonesia, para ekstrimis menganggap sesat dan kafir orang di luar kelompoknya dan bahkan menganggap halal darahnya.

Banyak faktor yang menjadi penyebab ekstremisme. Selain karena pemahaman ajaran agama yang salah, bisa juga disebabkan oleh faktor eksternal. Dalam konteks dunia Muslim, persoalan di Palestina yang sudah berpuluh-puluh tahun tidak selesai dan adanya pandangan bahwa Amerika lebih membela Israel daripada sebuah negara yang bertindak secara adil menjadi salah satu penyebab munculnya ekstremisme. Invasi Amerika Serikat ke Irak tahun 2003 telah menimbulkan ratusan ribu korban dan menyebabkan luka mendalam di negeri tersebut yang sampai sekarang belum sembuh. Kelompok-kelompok ekstrem di Irak saat ini, sebagian merupakan buah dari tindakan sembrono AS tersebut. Tetapi tidak berarti dengan perlakuan tersebut bisa menjadi pembenar melakukan tindakan kekerasan. 

Apapun itu, upaya mendiskreditkan Muslim harus dilawan, tetapi dengan cara yang santun dan cerdik. Jika apa yang disampaikan itu melanggar hukum, maka pendekatan hukum yang harus dilakukan. Jika upaya pendiskreditan itu untuk meraih dukungan politik, maka upaya politik menjadi jalannya. Seperti di Amerika Serikat sekarang, kelompok Muslim bersatu dan bereaksi keras atas ucapan Trump tersebut. Dukungan yang diberikan kepada Muslim oleh berbagai kelompok akan membuat upaya kapitalisasi kebencian terhadap Muslim bisa mereda. Muslim di Timur Tengah memboikat produk-produk dengan label Trump. Upaya pembelaan dengan cara kekerasan akan menunjukkan bahwa apa yang disampaikan oleh orang-orang yang membenci Muslim tersebut tampak benar. Upaya paling penting serta memiliki efek jangka panjang dalam melawan islamophobia adalah membangun sebuah tradisi keislaman yang toleran dan cinta damai seperti di Indonesia. Disinilah NU bisa berperan.

Di luar kekerasan yang terus terjadi di beberapa negara di Timur Tengah, Indonesia merupakan negara Muslim yang hidup dengan damai dan menjaga hubungan yang harmonis dengan agama lain. Ajaran Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam dengan mengedepankan prinsip moderat dan toleran menjadi dasar dalam kehidupan. Inilah prinsip-prinsip yang dikembangkan oleh NU sebagai kelompok Muslim terbesar di Indonesia yang mampu menyelaraskan antara ajaran agama dengan nilai-nilai lokal. Para ulama NU mampu membaca Qur’an dan Hadits tidak sekedar teks dan memaknainya secara tekstual, tetapi telah mampu menyerap substansi dari ajaran tersebut sehingga agama bisa menyatu dengan budaya setempat.  

Prinsip seperti inilah yang harus dikembangkan dan disebarkan ke seluruh dunia untuk mewujudkan wajah Islam yang ramah, bukan wajah Islam yang marah. Sejatinya Allah telah menjadikan manusia dalam berbagai macam golongan dan bangsa agar bisa saling mengenal dan belajar. Faktor kondisi geografis, budaya, politik dan lainnya yang membedakan menjadikan Islam bisa memiliki banyak warna, tidak berwajah tunggal sebagai sesuatu yang harus berciri Arab. Substansi dari nilai-nilai Islam seperti keadilan, kejujuran, penghargaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan, dan lainnya yang harus dijaga, bukan di tataran kulitnya yang seringkali menimbulkan perpecahan dan kekerasan sehingga menghalangi proses kemajuan umat Islam. (Mukafi Niam)