Risalah Redaksi

Ekonomi Nasional

Senin, 3 Januari 2011 | 06:20 WIB

PEMBANGUNAN ekonomi sangat erat kaitannya dengan pembangunan politik. Tidak mungkin membangun sistem ekonomi tanpa didukung oleh kekuasaan politik yang bebas. Itulah sebabnya untuk menyejahterakan rakyat Indonesia, para pemimpin bangsa ini menuntut kemerdekaan nasional.

Kita membuat negara sendiri, agar mampu mengelola kebijakan politik secara mandiri, sehingga mampu merumuskan dan menerapkan kebijakan ekonomi nasional sendiri. Semuanya ditujukan untuk mengabdi pada kepentingan rakyat dan martabat bangsa.<>

Politik kolonial dibangun untuk mendukung kelestarian kekuasaan kolonial. Maka itu, kaum colonial menerapkan sistem ekonomi yang menghisap untuk memperlemah posisi ekonomi pribumi. Ketika ekonomi kolonial telah mapan, maka modal internasional masuk ke negeri ini di bawah kordinasi pemerintahan Belanda. Seluruh investasi diorientasikan untuk ekspor, sehingga hanya perusahaan besar yang bisa masuk dalam sektor ini, baik perkebunan, pertambangan serta kerajinan, termasuk pertanian.
Untuk mempermudah persaingan maka diterapkan sistem monopoli, seluruh usaha rakyat dan usaha nasional lainnya didisikriminasi hingga mati.

Dalam masa kolonial, kemampuan berproduksi dan kemampuan dagang kaum pribumi yang sudah turun temurun dihambat hingga nyaris berhenti. Semua sektor industri dan dagang diambil alih oleh usaha multinasional yang dipimpin Belanda. Itulah yang membuat bangsa ini semakin terpuruk, tidak dapat memperoleh penghidupan yang layak, pendidikan yang layak dan kesehatan yang layak. Hanya kalangan elit bangsaawan yang bisa menikmati kekuasaan Belanda.

Sistem politik dan sistem ekonnomi penjajahan itulah yang pada masa revolusi kemerdekaan ditransformasikan menjadi pemerintahan nasional dan sistem perekonomian nasional. Pada masa awal kemerdekaan rakyat relatif memperoleh kebebasan politik, kebebasan belajar dan kebebasan berusaha secara ekonomi. Nasionalisasi perusahaan Belanda menjadi perusahaan negara dengan sendirinya mampu menghidupi roda pemerintahan. Ini sesuai dengan amanat undang-undang dasar bahwa bumi dan segala isinya yang menyangkut hajat hidup orang banyak itu dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyatnya.

Ketika rezim orde baru berkuasa, satu persatu perusahaan nasional kembali diswastanisasi. Pintu untuk orang asing dibuka lebar-lebar. Maka modal asing juga mulai menggeser perusahaan rakyat dan perusahaan nasional pada umumnya. Setelah reformasi apalagi, hampir seluruh sektor perusahaan strategis telah diambil alih oleh perusahaan asing, persis ketika zaman penjajahan dulu.

Saat ini, tidak hanya perusahaan rakyat mengalami kemerosotan, perusahaan negara pun mengalami kemunduran. Bermacam-macam alasan dibangun untuk melegalkan perdagangan yang berpihak pada asing. Hampir seluruh perundang-undangan yang berkaiatan dengan ekonomi menguntungkan perusahaan asing. Ini semua merugikan perusahaan nasional terutama di sektor kerakyatan.

Ironisnya, berbagai kampanye cinta produk dalam negeri digencarkan oleh Kementerian Perdagangan. Tapi dalam kenyataannya perusahaan nasional dibiarkan disapu oleh produk asing dengan alasan persaingan bebas. Bahkan kemudian menggerojok dengan berbagai produk asing yang mematikan usaha pribumi. Kampanye cinta produk dalam negeri yang digencarkan hanyalah menipu diri sendiri, karena dalam kenyataannya pemerintah membiarkan bahkana melindungi masuknya barang impor .

Pemerintah merasa terikat oleh perjanjian pasar bebas. Tapi merasa tidak terikat lagi oleh amanat Undang-Undang Dasar 1945 untuk menyejahterakan rakyat.

Kini, pemerintah tidak bisa melindungi dan memodali rakyatnya, padahal kemerdekaan diperjuangkan untuk membentuk pemerintahan yang mampu melindungi dan memodali rakyatnya.
***
IZIN BAGI RAKYAT untuk mendirikan usaha masih tetap saja sulit. Kemudahan dana dari bank cuma iklan. Lembaga keuangan menunjukkan keanehan, padahal sebagian besar nasabah bank besar seperti Bank Rakyat Indonesia adalah rakyata kecil. Tapi, mereka tidak diberi akses permodalan dari bank rakyat sendiri. Ketika BRI menyediakan kredit untuk usaha kecil, tapi tidak bisa diserap karena persyaratan peminjamannya hanya mungkin dipenuhi oleh usaha besar. Otomatis, dana triliunan yang disediakan tidak ada gunanya.

Pencekikan negara pada rakyatnya tidak berhenti sampai di situ. Di tengah kesulitan dana, negara melakukan berbagai penertiban, sehingga banyak usaha akecil yang digusur hanya untuk memperindah tata-kota. Ini semua tipu daya. substansinya adalah, untuk memfasilitasi perusahaan besar dalam menyingkirkan pesaingnya, yakni usaha kecil tersebut. Terhadap usah kecil yang masih tumbuh saat ini pemerintah berusaha menggencetnya lagi dengan mengenakan pajak tinggi pada usaha mereka.

Pemerintah tidak sadar bahwa usaha kecil ini bisa bertahan bukan karena untung besar tetapi berusaha mensiasati harga. Ketika harga dasar naik, mereka tidak berani menaikkan harga dagangan mereka, khawatir pelanggan akan pergi. Mereka menyiasati dengan mengurangi porsi, sehingga tidak ada kenaikan harga secara signifikan yang memberatkan pelanggan.

Dengan demikian, margin keuntungan semakin tipis. Tapi mereka terima asal usaha tetap jalan, tetap bisa makan.

Tapi, lama kelamaan mereka menjadi pedagang yang subsisten, hanya bertahan tidak bisa berkembang untuk memperluas skala usaha. Langkah itu tidak hanya menyelamatkan diri mengatasi kelangkaan pembeli, tapi juga untuk menolong pembeli yang daya belinya rendah. Para pembeli bisa mendapatkan kebutuhan yang dikehendaki.

Inilah siasat untuk hidup bersama dengan cara menanggung kerugian bersama dan menguntungkan kedua belah pihak.

Pemerintah tidak tahu kesulitan usaha seperti itu. Tapi rakyat tahu, masukan negara yang sebenarnya tidak untuk kas negara, melainkan hanya untuk meningkatkan kemewahan aparat negara, tak terkecuali hasil pajak yang dinaikkan bagi usaha kecil yang sudah hendak gulung tikar itu.
 
Rezim orde baru yang otoriter itu ternyata masih melekat pada birokrasi kita. Perilaku buruknya, semua urusan pemerintahan untuk memenuhi prosedur birokrasi dan kepentingan kaum birokrat, pajak dibebankan pada seluruh rakyat tanpa melihat kondisi perekonomian mereka. Bahkan pemerintah lupa pada tanggung jawabnya untuk meningkatkan usaha mereka dengan memberikan modal dan akses pasar.

Ketika kekuasaan nasional tidak lagi sepenuhnya berada di tangan bangsa sendiri, melainkan di tangan entitas internasional. Semua itu menyebabkan otoritas politik, terutama kebijakan ekonomi,  tidak bisa ditentukan sendiri, tapi dipaksakan oleh lembaga-lembaga multinasional yang mewakili kepentingan perusahaan multinasional, maka korbannya adalah usaha rakyata sendiri.

Dengan keharusan menerima keseluruhan perdagangan dari luar negeri, maka seluruh usaha nasional mengalami keterpurukan, pabrik besar ditutup, usaha rakyat kecil juga tutup karena kalah bersaing.

Pemerintah sebagai pemegang kendali negara mestinya melindungi kepentingan nasional dan sekaligus kepentingan rakyatnya. Kalau tidak, rakyat kita akan semakin sengsara, karena seluruh sektor usaha telah dikuasai oleh pihak asing, yang seluruh hasil usahanya akan dibawa pulang ke negara mereka. Sementara kita hanya akan menjadi objek pemberian bantuan, bahkan sebagai penghutang.

Saat ini, pemikiran ulang terhadap tugas dan tangung jawab negara dan terutama pemerintah perlu dilakukan kembali. Hal ini diperlukan, agar bisa diambil kebijakan yang pasti bahwa negara bertugas untuk melindungi, memfasilitasi rakyatnya. Tidak boleh hanya dengan dalih terikat oleh kesepakatan perdagangan bebas negeri ini tunduk pada WTO, GATT atau berbagai kebijakan yang dipaksakan bank dunia dan IMF.
 
Indonesia harus tetap merdeka, menentukan orientasi politik dan kebijakan ekonominya, untuk menyejahterakan rakyat dan meningkatkan martabat bangsa. (Abdul Mun’im DZ)