Risalah Redaksi

Gerhana dan Pengembangan Sains dalam Islam

Rabu, 9 Maret 2016 | 12:00 WIB

Gerhana merupakan fenomena alam yang rutin terjadi. Tidak seperti gerhana bulan yang sering terjadi, gerhana matahari yang lebih jarang terjadi mendapat perhatian luas dari masyarakat Indonesia. Apalagi ada sejarah kelam ketika terjadi gerhana matahari total di Indonesia pada 1983 di mana para penduduk diperintahkan tinggal dalam rumah oleh penguasa Orde Baru karena kekhawatiran adanya kebutaan pada mata akibat menatap matahari secara langsung. Padahal gerhana matahari total merupakan fenomena langka yang bisa dipelajari dalam berbagai aspek. 

Belajar dari pengalaman masa lalu tersebut, gerhana matahari total yang melewati Indonesia pada 9 Maret 2016 ini disosialisasikan lebih baik kepada masyarakat sebagai sebuah peristiwa alam yang jarang terjadi dan patut sambut dengan baik, sebagai sarana pengembangan ilmu pengetahuan, bahkan dipromosikan sebagai salah satu atraksi wisata pada daerah-daerah yang dilintasinya.  

Bagi umat Islam, gerhana matahari bukan sekedar fenomena alam, tetapi sebuah bukti akan kebesaran Allah dalam mengatur jagat raya yang tersistem dengan baik. Karena itu, Rasulullah mengajar umat Islam untuk melaksanakan shalat sunnah ketika terjadi gerhana, baik gerhana matahari atau gerhana bulan. Sebelum kedatangan Islam atau menurut kepercayaan suku-suku tertentu, gerhana dimaknai sebagai peristiwa mistik, seperti adanya raksasa yang marah sehingga memakan matahari atau bulan. Karena itu, ada sesuatu yang harus dikorbankan untuk meredaan kemarahan tersebut. Islam, menentang kepercayaan dan mitos tersebut dengan memberikan penjelasan secara rasional.  

Karena gerhana tidak datang setiap saat, maka diperlukan kemampuan untuk memprediksi, kapan hal itu akan datang. Di sinilah peran ilmu pengetahuan sangat penting dalam mendukung pelaksanaan ibadah shalat gerhana. Ini juga menunjukkan bahwa dalam beribadah diperlukan dukungan sains. Sesungguhnya, Al-Qur’an dan hadits secara tegas mengajak umat manusia untuk membaca dan berpikir guna mempelajari alam. Dalam konteks ilmu sosial, perintah kepada manusia untuk menjad khalifah di bumi mensyaratkan kemampuan untuk mengelola kehidupan di seluruh alam. Semuanya akan berjalan dengan baik jika para pemimpin memiliki ilmu pengetahuan yang dibutuhkan. Ilmu pemerintahan, ilmu sosial, ilmu ekonomi, dan lainnya. 

Umat Islam pernah berjaya dalam pengembangan ilmu pengetahuan pada abad pertengahan. Banyak ilmuwan-ilmuwan Muslim yang menjadi penemu berbagai kemajuan yang menjadi dasar ilmu pengetahuan yang berkembang saat ini seperti Aljabar, Avicenna, Albirruni, dan lainnya. Sayangnya, umat Islam saat ini disibukkan dengan “urusan-urusan kecil” seperti pertentangan urusan amaliyah yang sifatnya khilafiyah dan perebutan kekuasaan dengan menggunakan jargon-jargon agama. Kawasan yang dulu menjadi pusat peradaban Islam seperti Irak, Suriah, dan Mesir, kini menghadapi masalah kemanusiaan yang berat. Boro-boro memikirkan pengembangan ilmu pengetahuan, untuk memikirkan keselamatan diri sendiri saja sulit

Di sisi lain, di belahan dunia lain yang hidup dengan damai, ilmu pengetahuan berkembang dengan pesat. Seluruh komponen masyarakat, baik pemerintah maupun swasta, didorong untuk mengembangkan pengetahuan. Ada kesadaran bersama bahwa kemajuan sebuah bangsa ditentukan oleh pengetahuan yang dimilikinya. Lembaga-lembaga riset didanai secara besar-besaran untuk menghasilkan pengetahuan atau penemuan baru. Dengan demikian negara-negara Muslim, kini semakin tertinggal ketika kapasitas persaingan antarbangsa didasarkan pada kepemilikan ilmu pengetahuan dan teknologi serta inovasi yang mampu dilakukannya. 

Masyarakat juga semakin mempercayai sains sebagai panduan dalam berperilaku. Jika ada pertentangan antara sains dan agama, maka sains lah yang dimenangkannya. Ini tentu menjadi persoalan serius bagi seluruh agama, bukan hanya Islam. Nilai-nilai dalam kitab suci kini dipertanyakan. 

Ada ajaran agama yang sifatnya dogmatis seperti pelaksanaan shalat lima waktu dan berapa rakaat jumlahnya, tetapi ada persoalan-persoalan yang membutuhkan jawaban. Masyarakat yang semakin terdidik membutuhkan argumentasi dan alasan rasional kepada suatu hal dilakukan seperti bentuk pemerintahan apa yang paling baik. Para ulama, jika tidak mampu merumuskan jawaban yang baik, akan ditinggalkan oleh umatnya. Saat umat dan bangsa lain sudah berhasil mencapai bulan dan menargetkan diri mencapai planet Mars, umat Islam masih disibukkan diri dalam metode melihat bulan sebagai kriteria penentuan awal puasa dan Idul Fitri. Ini merupakan salah satu contoh kecilnya.

Pengembangan ilmu pengetahuan telah memberi kemudahan hidup bagi manusia. Tapi ada tantangannya, ketika banyak riset kini dilakukan untuk kepentingan bisnis guna meraih keuntungan. Saat keuntungan komersial menjadi panduan utama, bisa saja mengorbankan hal-hal lain seperti nilai kemanusiaan. Ilmu pengetahuan yang tidak dipandu nilai-nilai moral kemanusiaan, memiliki potensi melenceng dari tujuan awalnya untuk mensejahteraan manusia. 

Sesungguhnya tantangan keberadaan agama terbesar bukanlah misi dari agama lain yang ingin merebut umat, tetapi agama baru berupa “sains” yang bergerak jauh di luar nilai-nilai moral dan kemanusiaan. Tanpa panduan, suatu saat, sains bisa menghancurkan umat manusia sendiri. Menjadi tugas bersama seluruh umat Islam untuk meningkatkan kemampuannya menguasai ilmu pengetahuan dan memasukkan nilai-nilai pengetahuan dengan nilai moral kemanusiaan. (Mukafi Niam)