Pesan sederhana namun sarat makna ini tertutur dari KH Abdullah Abbas, sesepuh NU dari Pesantren Buntet Cirebon, kepada Ketua Umum PBNU H.A Hasyim Muzadi saat menjenguk beliau sakit, di RSU Cirebon beberapa bulan lalu. Mbah Dullah panggilan akrab kyai berusia 81 tahun, satu diantara kyai sepuh NU, pastilah pernah mengalami langsung perubahan jaman demi jaman di republik ini. Perubahan dimana posisi NU selalu menjadi centrum dan sumber rujukan penting bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Pengalaman permanen kyai kharismatik ini, terlibat, bergulat, serta merasakan sendiri pahit-getirnya perjalanan NU, ihwal utama pendorong keluarnya nasehat itu pada sang Kemudi NU, Hasyim Muzadi.
Pesan jagalah dan rawatlah NU berarti keutuhan biduk organisasi ini harus dijaga, sebab keutuhan NU adalah keutuhan bangsa. Sebagai pusat keseimbangan bangsa, maka NU harus kokoh, kuat untuk menyangga proses kebangsaan. Melalui sebuah praktek tradisi yang berjalan selama berabad-abad di rangkaian kepulauan Nusantara itu, kalangan NU tidak pernah mengalami kesibukan serius – sebagaimana yang terjadi pada beberapa elemen masyarakat Indonesia lainnya– untuk mencari jati-diri kebangsaan (keindonesiaan). Sebab, akar-akar kebangsaan yang hidup di berbagai area lokal, berwatak kerakyatan serta beranekaragam itu, telah merupakan bagian yang terpisahkan dari keseharian masyarakat NU sendiri—meski tak sepatah katapun, klaim nasionalis muncul dari kalangan NU.
<>Paham kebangsaan NU bersifat endogen serta build-in, artinya telah ada sejak kelahirnya serta menyatu dengan batang tubuh NU. Perwatakan dasar itulah, seringkali NU harus berhadap-hadapan dengan kekuatan lain, yang mencoba mengusik kesepakatan kebangsaan. Deretan peristiwa besar seperti Resolusi Jihad, penerimaan Nasakom, penumpasan G/30 SPKI, penerimaan Asas Tunggal, bukti keberanian NU mengambil sikap tegas demi keberlangsungan bangsa, meskipun acapkali berbuah pahit.NU dituduh sebagai kekuatan oportunis, oleh kelompok modernis. Dijuluki si tukang jagal oleh kekuatan internasional, akibat ketegasannya melawan manuver PKI. Uniknya NU, selalu mampu lepas dari tekanan, keluar sebagai gerbong yang diiringi umat lain.
Tak terkecuali detik-detik ini, masa pergantian kepemimpinan nasional, sorot mata publik tertuju pada keputusan penting lahir dari Kramat Raya 164 Jakarta. Kantor ini bak medan magnetik memiliki daya hisap luar biasa, tokoh-tokoh politik, pejabat, aktivis, dalam dan luar negeri, bahkan rakyat kecilpun ikut lalu lalang. Daya tarik ketokohan dan institusi NU begitu menyedot perhatian publik, tak aneh bila seluruh proses politik seolah berhenti, menunggu keputusan ‘apa’ muncul dari gedung berlantai 9. Fakta ini membalikkan tuduhan kalangan non-NU bahwa watak dasar politik NU oportunis. Tindakan politik oportunis pasti dicela dan dijauhi orang, mengapa mereka justru rela berbondong-bondong datang mendekat ke NU ?
Semua tak lepas dari besarnya massa NU serta dukungan permanen pada tokoh-tokohnya. Harus disadari, daya topang utama NU lebih disokong oleh kuatnya nilai solidaritas dan integritas pengikutnya. Massa NU juga ideologis, memiliki ikatan emosi dan kulturil yang kuat pada organisasi. Sehingga susah diobrak-abrik oleh proyek floating mass-nya Orde Baru.Artikulasi kepemimpinan Gus Dur ikut mendongkrak daya tawar NU. Gus Dur mampu mengemas ‘dagangan’ NU dengan apik, sehingga harga jual NU menjadi mahal. Sulit memungkiri ketokohan Gus Dur, siapapun kawan maupun lawan!. Dialah pemimpin NU yang mampu menyelamatkan umatnya, saat Indonesia memasuki 30 tahun Orde Kegelapan. Saat itu kondisi gelap gulita, Gus Dur dengan kesabaran dan keberaniannya, tegak berdiri membawa obor penerang, menuntun dan menunjukkan arah terang pada warga NU, agar tidak tersesat. Hasilnyapun kelihatan, selamatlah warga NU dari proyek depolitasisasi massa rezim Soeharto. Hingga hari ini, kesolidan massa NU tetap terjaga, peta perolehan suara PKB, pemilu 2004 konsisten, mencerminkan kepatuhan dan kesetiaan yang utuh warga NU kepada pemimpinnya. Bandingkan dengan basis sosial lain, suara mereka terfragmentasi kemana-mana, lepas dari orbit kendali organisasinya.
Banyak pihak tidak menginginkan NU besar, kuat, dan kokoh secara organisasional, selalu ada upaya sistematis untuk menghalang-halangi proses pelembagaan politik NU.Proyek de-NU-nisasi terus dioperasikan, dengan jalan mengintrodusir dinamika internal NU menjadi konflik elit permanen, proyek adu domba antar tokoh NU. Hampir 30 tahun proyek ini efektif dijalankan, modus operandinya elit NU dimoderasi dengan uang dan jabatan, hingga terjadi elitisme kepemimpinan NU. selama itu pula ketegangan dan konflik antar elit itu terlembaga.Operasi itu memang memakan beberapa kurban, beberapa elit NU sempat terkena dengan operasi ini, namun masih banyak pemimpin NU yang mampu lepas, selamat dari bujukan ini.
Kasus hiruk pikuk hubungan Gus Dur dan Hasyim Muzadi harus dilihat dari skema itu. Artinya kalau orang NU tidak waspada, malah larut dukung mendukung dan saling jegal, maka sama saja terperangkap dalam skema itu. Bila itu terjadi maka benar kata Subhan ZE, NU mirip boneka disenangi, ditimang-timang, lalu dibuang.
Kehadiran Gus Dur dan Hasyim Muzadi dalam kontes kepemimpinan nasional, tidak dapat diperhadapkan secara diametral. Kedua-duanya aset besar NU, harus tetap di jaga dan dirawat seperti pesan Mbah Dullah. Ceroboh bila warga NU secara sadar
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Jagalah Shalat, Maka Allah Akan Menjagamu
2
Ini Amalan Jumat Terakhir Bulan Rajab, Bisa Jaga Keberkahan Rezeki Sepanjang Tahun
3
Khutbah Jumat: Mengenal Baitul Ma’mur dan Hikmah Terbesar Isra’ dan Mi’raj
4
Paduan Suara Yayasan Pendidikan Almaarif Singosari Malang Meriahkan Kongres Pendidikan NU 2025
5
7 Penerima Penghargaan Pesantren dalam Malam Anugerah Pendidikan NU
6
Kongres Pendidikan NU 2025 Akan Dihadiri 5 Menteri, Ada Anugerah Pendidikan NU
Terkini
Lihat Semua