Risalah Redaksi

Kepeloporan Mahasiswa

Jumat, 16 April 2004 | 12:09 WIB

Jakarta, NU ONLINE. Semenjak dibubarkannnya organisasi mahasiswa intra kampus Dewan Mahasiswa (DEMA) dan Senat Mahasiswa (SEMA) itu, maka organisasi ekstra yang bergabung ke dalam kelompok Cipayung itu kembali memperoleh perhatian. Tetapi karakternya memang berbeda, DEMA penuh heroisme dalam membela rakyat, bahkan  berani berkonfrontasi dengan rezim yang berkuasa, maka organisasi ekstra kelompok Cipayung ini sangat low profile, dan sangat santun dengan keadaan dan terutama dengan pemerintah orde baru. Kegiatan organisasi itu hanya melakukan pengkaderan ala kadarnya, serta memiliki agenda rutin untuk dengar pendapat dengan para pejabat. Dan watak itu berkembang semakin kondusif dengan dibentuknya Komite Nasional Pemuda Indnesia KNPI sebagai wadah politik mereka. Akhirnya organisasi ekstra menjadi pemasok rutin bagi pengisian posisi-posisi di birokrasi pemerintahan. Hal itu semakin membuat mereka bersikap baik pada penguasa dan semakin jauh mebuang sikap kritis.

Penyimpangan yang dilakuakn pemerintahan serta represi yang berlebihan terhadap  rakyat, membuat mahasiswa perlu mencari gerakan alternatif. Untuk bergerak dari kampus belum mungkin, sebab doktrin Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK) masih berlaku sehingga organisasi intra seperti halnya organisasi ekstra, sangat apolitis, bahkan asosial, dan celakanya juga anti akademik, mereka belajar bukan untuk mengembangkan disiplin keilmuan, tetapi lebih sebagai batu loncatan mencari pekerjaan atau jabatan. Karena itu pada masa represif  tahun 1980-an itu yang pertama kali muncul adalah gerakan pemikiran yang terwujud dengan berdirinya kelompok studi.

<>

Bermula dari kelompok studi itu kemudian mulai dirintis kelompok gerakan mahasiswa yang melakukan gerkan protes dan advokasi sosial. Semua organisasi tersebut diorganisir melalui simpul-simpul gerakan yang berada di luar kampus. Mereka ini dikenal sebagai aktivis jalanan atau kelompok aksi, dinamai demikian  karena mereka  aktif mengadvokasi kepentingan dan hak-hak rakyat, seperti membela korban Waduk Kedung Ombo, kenaikan harga kebutuhan pokok, serta menolak kekerasan terhadap rakyat yang dilakukan aparat keamanan. Sikap itu diambil dengan sadar walaupun penuh resiko,  akhirnya gerakan mahasiswa menjadi semacam partai oposisi, ketika tidak ada partai oposisi. Walaupun gerakan ini bersifat ekstra kampus, tetapi gerakan itu tidak bersentuhan dengan organisasi ekstra yang bergabung dalam kelompok Cipayung.

Ketika kelompok Cipayung masih menikmati bulan madu dengan kekuasaan, sementara kelompok gerakan mahasiswa justru dipuncak penderitaan, menjadi target penangkapan dan penculikan dan sebagainya. Kelompok aktivis gerakan itulah yang bisa mempelopori gerakan reformasi, untuk menumbangkan orde baru, yang kemudian juga diikuti oleh kelompok organisasi ekstra. Bahkan kelompok ekstra ini jauh bisa mengambil manfaat gerakan reformasi ini ketimbang kelompok gerakan, yang memang tujuan mereka murni perubahan, bukan kekuasaan, akhirnya mereka masih terus-menerus bekerja di lapangang melakukan berbagai advokasi sosial membela hak rakyat yang tertidas dan tereksploitasi.

Saat ini ketika gerakan mahsiswa pudar, tampaknya ada gelagat organisasi ekstra akan dominan kembali, sebab system bagi-bagi kekuasaan ini akan lebih direspon oleh organisasi ekstra ketimbang kelompok gerakan . Ini yang membuat organisasi ini semakin jauh dengan kampus dan problem kemahasiswaan, mereka lebih dekat dengan urusan kekuasan di masing-masing level. Padahal dalam situasi kebuntuan sosial dan kemacetan politik seperti sekarang ini butuh kepeloporan mahasiswa agar kembali menggerakkan perubahan. Momentum ini yang semestinya diambil PMII dalam kongresnya yang ke-13 nanti. Sebab kalau tidak PMII tidak pernah menemukan jati diri, hanya selalu menjadi organisasi mantel.

Kepedulian utama PMII akhirnya hanya menjalin akses ke kekuasaan, akhirnya  PMII cenderung hanya diminati mahasiswa yang sejak awal ingin duduk di kekuasaan, sementara bagi mahasiswa yang ingin mengembangkan profesi, akan masuk kelompok studi, yang ingin melakukan pengabdian sosial mmasuk ke  kelompok gerakan. Kalau di PMII ingin mengembangkan intelektualitas akan lari Lembaga Kajian Islam dan Sosial,(LKIS) atau aktif di Lembaga Studi Agama dan Demokrasi (LSAD) dan sebagainya, sementara kalau menjadi pembela rakyat mereka masuk ke Front Perjuanagan Pemuda dan Pelajar Indonesia (FPPI) FAMRED, FORKOT dan sebagainya.

Kalau kader PMII hanya dipersiapkan untuk meraih jabatan politik dan hanya mengandalkan kekuatan lobi, sementara politik kedepan mengandalkan profesionalisme, maka justeru PMII akan kehilangan masa depan, karena akan kehilangan skill merumuskan arah kebijakan di saat yang sama akan kehilangan kemampuan mengorganisir massa. Belum lagi bila ingin  berperan dalam membangun negeri ini secara menyeluruh, penyiapan kader di segala bidang sangat dibutuhkan. Memang ini terkesan butuh investasi mahal, tetapi sebenarnya yang terpenting adalah kemauan, sebab bisa dimulai dalam skala kecil. Akibatnya potensi intelektual di kampus yang begitu besar dikorbankan, demi kepentingan kedudukan jangka pendek.

Gagasan independensi organisasi, tidak hanya dari NU, namun juga dari partai politik dan terutama pemerintahan, maka hal itu perlu ditegaskan kembali. Sebab gagasan itu lebih banyak dilontarkan tetapi tidak pernah diputuskan, apalagi dijalankan. akhirnya PMII menjadi gamang. Hanya sibuk menjaga hibungan baiknya dengan semua pihak, akibatnya tidak pernah melakukan pilihan tegas, dan juga tidak memiliki program yang jelas, bertindak menunggu arah angin bertiup, mereka hanya bereaksi dan menyesuaikan diri. Tidak aktif mempelopori perubahan. (Abdul Mun'im DZ)