Risalah Redaksi

Kepentingan Publik yang Terabaikan

Selasa, 11 April 2006 | 14:39 WIB

Ketika sedang mengalami krisis keuangan, negara tidak memberikan perhatian pada kepentingan publik dengan alasan tidak cukup anggaran untuk itu. Sejak itulah pemenuhan sarana publik seperti pembelian gerbong kereta api, bus angkutan umum, kapal, hingga pesawat terbang dibelikan barang bekas. Tetapi kebiasaan itu diteruskan ketika dana sudah tersedia, sementara alasannya tetap sama, kekurangan dana.

Di lain pihak, kalangan elit secara pribadi membeli segala peralatan mewah termasuk mobil mewah secara berhamburan. Kalau orang-orang Indonesia yang kaya raya mampu membeli mobil tidak hanya bagus, tetapi sangat mewah, celakanya, pada saat bersamaan, negara sama sekali tidak bisa membeli mobil baru, akhirnya hanya membeli mobil bekas dari Jepang, Cina dan lain sebagainya dengan kualitas sangat buruk.

<>

Kekayaan negara baik hasil pendapatan pajak dan pertambangan, semuanya dikorup baik dengan secara legal maupun ilegal. Secara legal mereka memberlakukan gaji yang sangat tinggi, sehingga seluruh pendapatan habis untuk menggaji diri mereka sendiri. Sementara, program kerja tidak kebagian jatah, akhirnya fasilitas juga tidak tersedia. Secara ilegal, mereka melakukan mark up maupun mark down, sehingga negara dirugikan.

Dengan demikian negara tidak lagi mampu membeli sarana transportasi yang baru dan baik, maka dibelilah barang bekas, itu pun masih tidak luput dari manipulasi, yang kadang harganya lebih mahal dari mobil baru. Ironis. Semua orang tahu hal itu, tetapi lembaga audit tidak akan pernah mampu menemukan penyimpangan itu, sebab semuanya menjadi legal dan prosedural. Tetapi manipulasi tetap manipulasi, dan akibatnya negara dan publik selalu dirugikan demikian pula rakyat disengsarakan.

Saat ini hampir tidak ada kereta api kelas ekonomi dan bisnis yang layak pakai, semua fasilitas sudah rusak. Kereta mewah pun segera menjadi kereta biasa karena tidak dirawat, dengan alasan tidak ada dana. Apalagi kereta ekonomi, seluruh fasilitas, kecuali tempat duduk sudah tidak layak pakai, cendela telah bolong, lampu mati, penumpang dipadatkan hingga tidak bisa bergerak. Mereka tidak dihormati sebagai rakyat yang memiliki hak dan kewajiban, melainkan disamakan dengan barang, padahal mereka terus dinaikkan bayarannya, sementara manajemen kendaraan umum tidak pernah memperbaiki diri, dan negara baik DPR dan pemerintah tidak pernah peduli dengan nasib orang banyak, mereka hanya sibuk membeli mobil pribadi atau pun mobil dinas yang serba mewah.

Kondisi itu perlu diubah, negara harus menertibkan birokrasi pemerintahan, sehingga bisa menutup segala kebocoran, meluruskan segala penyimpangan, agar kepentingan negara, kepentingan publik dan kepentingan sektor usaha swasta tidak ada yang dirugikan, sebaliknya saling menguntungkan. Tata politik hanya berarti bila hal itu terjadi, bila tidak berarti hukum rimba yang berlaku, siapa yang kuat secara politik dan ekonomi yang mendapat fasilitas negara sementara hak rakyat dijarah mereka, melalui korupsi dan penggajian yang tinggi. (Abdul Mun’im DZ)