Risalah Redaksi

Keputusan Yang Melegakan

Senin, 8 Maret 2004 | 18:13 WIB

Demokrasi memberikan hak pada setiap warga negara tanpa kecuali, tetapi dalam demokrasi Indonesia masih “ada gabah dalam beras“ ada diskriminasi terhadap eks tapol, mereka hanya boleh memilih tetapi tidak punya hak untuk dipilih. Tetapi keputusan yang berbentuk undang-undang itu diuji secara materi oleh Mahkamah Konstitusi (MK), yang hasilnya sangat mengejutkan, bahwa UU itu dinilai salah karena bertentangan dengan Undang-undang Dasar, akhirnya para bekas tapol yang selama ini dicurigai didiskriminasi baik secara sosial maupun politik, sekarang berhak dipilih sebagai calon legislative.

Keputusan itu sangat mengejutkan, melegakan, tetapi sekaligus juga mencemaskan, bagi kelompok pro demokrasi. Tidak diduga, keputusan radikal itu keluar dari lembaga yang selama ini dinilai konservatif, dan anehnya keputusan itu mendapat dukungan dari hampir semua kelompok, baik kelompok politik maupun organisasi keagamaan, PBNU melihatnya sebagai keputusan yang tepat, demikian halnya Muhammadiyah memandangnya sebagai keputusan yang sudah selayaknya diambil dalam menegakkan demokrasi. Kelompok yang selama ini gigih menentang komunis juga tidak kelihatan melakukan tantangan seperti biasanya.

<>

Hal itu tentu sangat berbeda ketika Gus Dur mengintrodusir gagasan pencabutan TAP MPRS No. 25, tentang pelarangan terhadap penyebaran marxisme-komunisme, mendapat perlawanan keras, tidak hanya dari ormas Islam, tetapi juga dari para politisi, intelektal dan kalangan DPR sendiri, sehingga gagal dilakukan pencabutan, tetapi dengan adanya hasil review MK itu apakah berimplikasi terhadap eksistensi TAP MPRS tersebut, sementara TAP MPR dianggap lebih tinggi.

Maka di sini kita kembali meyaksikan kerancuan dan inkonsistensi dalam system konstitusi kita, TAP MPR No. 25 Tahun 1966, jelas bertentangan dengan UUD 45, sementara hasil review MK sejalan dengan UUD 45, tetapi bertolak belakang dengan TAP tersebut. Ini akan menjadi arena perdebatan, pecabutan TAP tentu akan masih susah diulakukan, karena itu kekhawatiran muncul bahwa review tersebut akan dibatalkan kembali secara politik, juga secara hukum, ini bisa terjadi karena kita masih terbiasa dengin inkonsistensi sikap dan pemikiran.

Karena itu kelegaan tersebut, juga melahirkan kecemasan akan keberlangsungan keputusan tersebut, sebab masih ada ganjalan hukum, ada hambatan politik, dan tentu saja secara laten maupun manifes masih banyak pertentangan. Kalau selama ini MK juga berargumen sosiologis, masyarakat telah bisa menerima pencabutan diskriminasi tersebut, suatu ketika masyarakat juga bisa bertindak melakukan diskriminasi kembali dengan alasan para eks tapol bisa mengancam keamanan, maka argumen politik, dan sosiologis bisa diberlakukan kembali.

Melihat kenyataan ini orang ada yang menganggap ini hanya sebagai komoditi politik, atau MK terjebak pada isu sensitive yang bisa menimbulkan ketegangan social dalam pemilu. Memang dalam situasi keruh semacam ini antara niat baik dan niat buruk sulit dibedakan, sebab keduanya menggunakan alasan yang sangat mulia, walaupun tujuannya sangat berbeda.

Kita berharap keputusan tersebut sebuah kesungguhan, sebab pada dasarnya masyarakat telah berusaha dengan sungguh-sunguh untuk melakukan rujuk social dan rujuk politik terhadap kelompok manapun, tetapi kalau para elite masih menjadikan konflik dan ketegangan sebagai komoditi politik, maka harmoni social yang sesungguhnya sulit terjadi.

Masyarakat pada umumnya tidak melakukan diskriminasi, mereka melakukan karena takut ancaman dari pemerintah, khawatir digolongkan sebagai kelompok yang tidak bersih lingkungan karena bersaudara atau bersahabat dengan para bekas tapol dan sebagainya, tetapi pada dasarnya mereka memiliki solidaritas kemanusiaan yang tinggi secara naluriah, bukan dibuat buat sesuai dengan trend dan mode Keputusan itu sangat penting dan berharga, karena itu kita berharap bisa terus diberlakukan, sebab ini merupakan langkah menuju demokrasi, dan ini juga merupakan tangga menuju rekonsiliasi nasional, yang sering didengungkan belakanagan ini. Tanpa adanya pemberiah kesamaan hak tidak mungkin rekonsiliasi bisa dilaksanakan, dan langkah ini merupakan tahapan yang sangat konkret menuju rekonsiliasi. (MDZ)***