Risalah Redaksi

Ketika Negara dan Rakyat Kehilangan Kedaulatan

Kamis, 22 Juli 2004 | 12:51 WIB

Jakarta, NU.Online
Dalam masa transisi ini semua kekuatan bertarung, antara negara, rakyat dan kapital. Pada masa orde baru negara dan kapital bersatu padu, sehingga keduanya sangat powerfull, sementara masyarakat dalam posisi tertindas dan tereksploitasi, ketihka gerakan demokratisasi muncul,maka pemilik modal, terutama asing, mulai membantu perjuangan rakyat atas nama demokrasi dan hak asasi manusia, maka kekuasaan negara harus dikurangi bahkan dipreteli agar tidak represif dan tidak korup karena bisa dikontrol masyarakat.

Ketika gerakan reformasi terjadi, maka kekuasaan negara benar-benar lumpuh, bukan berarti rakyat kuat, akhirnya negara tidak mampu mengkelola rakyat dan rakyatpun tidak mampu mendisiplinkan diri sendiri, maka terjadilah chaos di mana-mana, dan negara powerless seperti orang jompo, bisa melihat tetapi tak mampu berbuat. Korupsi yang selama ini bisa relatif terkendali menjadi semakin merajalela dengan tampilnya pelaku-pelaku baru yang lebih rakus, terhadap kenyataan itu kekuasaan negara juga tidak bisa berbuat apa-apa. Terhadap harta negara yang dijarah oleh para pemilik modal, negara juga hanya bisa mengelus dada, malah menciptakan badan yang hanya <>bisa mengobral aset negara, bukan menyelamatkannya.

Saat negara benar-benar lumpuh itu, kemudian dimunculkan kebijakan baru lagi bahwa kekuasaan negara harus semakin dikurangi, terutama dalam bidang ekonomi, yang akhirnya memunculkan kebijakan swastanisasi perusahaan-perusahaan negara. Karena negara tidak lagi punya wewenang, maka perusahaan yang dimiliki termasuk perusahaan strategis yang menyangkut kepentingan rakyat banyak ikut diswastanisasi dan dijual dengan harga murah.

Negara menjadi miskin, tetapi beberapa kelompok menjadi kaya raya, yaitu kelompok yang ngemplang uang negara, dan kelompok yang membeli asset negara dengan harga murah lalu menjualnya lagi dengan harga mahal. Akibat negara miskin karena kekayaannya diserobot segelintir elite politik dan para pengusaha, maka negara hampir tidak mampu membiayai dirinya sendiri, dan melaksanakan tugasnya melayani dan mensejahterakan rakyat. Jaminan social, fasilitas umum, serta tugas mendidik rakyat baik  terabaikan, maka pendidikan menjadi sangat mahal, padahal kalau negara mampu bisa mensubsidi bahkan membebaskan sama sekali, sebab bagaimanapun rakyat adalah asset negara, kalau mereka dicerdaskan maka negeri ini akan maju.

Di sisi lain dengan alasan liberalisme dan pasar bebas, maka negara tidak bisa mendukung pertanian rakyat dan melindungi mereka dari masuknya barang asing, baik yang resmi maupun selundupan, dengan alasan pasar bebas, maka seluruh usaha rakyat baik di pertanian, peternakan, perikanan perkebunan dan perindustrian hancur terpuruk karena masuknya berbagai produk asing yang lebih kompetitif baik dari segi kualitas dan harga. Maka seluruh usaha rakyat tergulung oleh kapitalisme asing yang masuk dengan berlindung di bawah bendera liberalisme. Yang terjadi kemudian adalah pemiskinan massal, ang membuat daya beli masyarakat merosot, termasuk tidak bisa membeli pendidikan.

Lengkaplah sudah penderitaan yang dialami bangsa ini, rakyat tidak mampu membeyai pendidikan yang amat mahal, sementara negara juga tidak peduli dengan kecerdasan rakyat, maka akibatnya bangsa ini akan mengalami keterputusan generasi. Bagaimana anak-anak cerdas tidak yang telah lulus tes di sekolah dan universitas favorit dengan nilai tinggi, tetapi tidak bisa masuk karena harus membayar pungutan gedung yang dalam penentuan harganya  sangat liar. Sementara bangku yang lowong itu akan dibeli oleh anak yang bodoh tetapi memiliki uang, kualitas seseorang tidak lagi ditentukan kapasitas intelektualnya, melainkan oleh kuantitas sakunya. Ini persis mengulang apa yang terjadi zaman kolonial, bagaimana Kiai Munasir tahun 1933, yang lulus tes MULO, tetapi ditolak masuk karena bukan anak pejabat tinggi, hanya ambtenar yang boleh bersekolah.

Kelihatannya negara juga tidak mau kehilangan kekuasaannya atas beberapa sector kehidupan, maka sekarang ini juag muncul berbagai perundang-undangan dan peraturan yang berusah mengembalikan peran negara, tidak dalam dunia ekonomi tetapi dalam bidang politik dan social, termasuk keagamaan. Saat ini misalnya telah dipersiapkan sebuan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang kerukunan beragama. Persoalan yang selama ini dijalankan berdasarkan konvensi, atas dasar kelayakan dan kepantasan. Dengan adanya undang-undang tersebut maka negara akan menajdi pengatur tungal hubngan antara umat beragama.

Karena nilai-nilai kerukunan itu telah diundangkan, maka akan muncul sanksi bagi yang melanggar. Sementara pengundangannya berdasarkan perspektif keutuhan agama mayoritas, maka munculnya sikap diskriminatif tidak bisa dihindarkan. Hal itu dikhawatirkan akan menimbulkan ketegangan antara agama. Sebab kalau konvensi diundangkan akan menjadi kaku, karena menjadi formal dan dibayang-banyangi oleh sanksi.

Saat ini saatnya menempatkan negara dan masyarakat secara proporsional, agar negara tidak meninggalkan wewenang yang semestinya, tetapi mengambil wewenang yang bukan miliknya. Negara sebagai organisasi yang diberi wewenang mengatur, maka ia mesti memiliki wewenang yang semestinya, sebab kalau tidak ia tidak bisa melindungi dan mensejahterakan rakyat. (Abdul Mun'im DZ)