Konfrensi Asia Afrika kembali digelar, tanpa ada lasan yang jelas, kenapa perhelatan besar itu kembali diselenggarakan, paling banter hanya untyuk memperingatai tahun emas (50 tahun) kelahiran Konfrensi tersebut. Dengan tidak adanya landasan pemikiran dan tujuan yang jelas, maka kelihatan pelaksanaan konfrensi tersebut hambar, tanpa greget sepanjang acara. Di sana hanya kelihatan adanya nostalgia semu, tanpa ada upaya serius untuk menggali semangat perjuangan konfrenasi yang bersejarah tersebut.
Para kepala Negara yang hadir ke tempat tersebut seolah tidak ingat atau bahkan tidak tahu, bagaimana para pendahulu mereka bekerja keras menyelenggarakan gerakan pembebasan melalui konfrensi internasional tersebut. Berbagai halangan dan rintangan dihadapi, baik oleh kekuatan reaksioner dalam negeri maupun oleh kekuatan imperialisme asing yang terancam posisinya. Nasinalisme, kebangsaan atau kedaulatan Negara yang dulu menjadi spirit utamanya, namun tampaknya tidak menjadi kepedulian para pemimpin Negara yang ada sekarang.
<>Mereka sudah terbiasa dengan konfrensi yang penuh hura-hura, basa-basi diplomatic, hanya mengurus soal teknis, soal ketersediaan pangan, seperti konfrensi Apec, WTO, dan sebagainya. Dalam forum yang diagendakan oleh Negara besar kapitalis semacam itu, paling dibicarakan soaln pengurangan kemiskinan, soal keterbelakangan. Tetapi sama sekali tidak pernah dibicarakan soal kedaulatan Negara. Semua persoalan yang bersifat ideologis, seperti soal kedaulatan Negara dan martabat bangsa direduksi menjadi soal teknis, yaitu pendapatan perkapita, yang mungkin setiap tahun bisa naik dalam angka, tetapi rakyat miskin juga semakin meningkat.
Soal kemiskinan bahkan keadilan dibicarakan secara berapi-api, tetapi tidak pernah dibahas, di mana sebenarnya sumber kemiskinan dan bagaimana ketidakadilan tersebut direncanakan. Lalu persoalan diselesaikan dengan soal menaikkan atau menurunkan tariff atau memperbesar atau memperkecil kuota perdagangan, atau malah persoalan lebih teknis yaitu memangkas prosedur birokrasi, kepastian hkum dan sebagainya. Hanya persoalan itu yang diutak-atik dalam berbagai konfrensi. Kita mesti bicara, karena rakyat sudah muak dengan berbagai acara basa-basi. Rakyat butuh langkah konkret. Rakyat ingin bukti keberanian para pemimpin Negara dihadapan para capital dan kolonial.
Soal pencaplokan, soal hegemoni, soal monopoli, baik secara ekonomi, politik maupun sumber daya tidak pernah dibicarakan. Sebab dengan begitu mudahnya Negara penjajah mengeksploitasi sumber alam Negara Asia Afrika, lalu memonopoli penghasilannya. Paling Negara pemilik sumber hanya diberi sedikit jatah, dan sedikit pajak yang sudah jauh dimanipulasi. Selain itu perusahaan nasional mulai satu persatu diswastanisasi oleh perusahaan swasta asing, sehingga fungsi layanana dari perusahaan Negara menjadi tidak ada.
Persoalan dasar, masalah kedaulatan Negara, masalah martabat bangsa yang dulu diperjuangkan, kini tidak ada gemanaya. Kapitalisme dan penjajahan tidak lagi dianggap sebagai lawan, sebaliknya telah dijadikan kawan oleh para pimpinan Negara untuk menjajah rakyat sendiri. Dengan dalih semacam itu, maka Konfrensi AA kehilangan spirit, akhirnya kehilangan simpati dari masyarakat. Ia berjalan, berlalu tanpa kesan. Berbagai keputusan menggebu yang diahasilkan dianggap bualan. Seolah rakyat berseru “para delegasi boleh berteriak apa saja, tapi rakyat tidak akan percaya”. Forum basa-basi semacam itu hanya membebani rakyat yang mendanai konfrensi tersebut.
Melihat kenyataan itu, kehampaan itu kita mesti kembali menghayati, apa yang dikehendaki rakyat, apa yanag dikehendaki Negara, dan apa yang dibutuhkan oleh bangsa Indonesia. Tidak lain adalah kebebasan, kedaulatan, kehormatan. Semua itu yang harus dikembalikan. Soal kemiskinan sejak dulu telah bisa diselesaikan sendiri oleh bangsa ini. Soal keterbelakang, sejak dulu bisa dikejar oleh bangsa ini. Soal ketertiban sejak dulu sudah bisa dijaga oleh rakyat ini sendiri.
Sejauh Negara telah memiliki kedaulatan dan bangsa ini memiliki harga diri dan martabat yang tinggi. Semuanaya itu bisa terjadi bila Negara dengan rakyat menyatu. Tidak dibuat saling memusuhi seperti sekarang ini. Mari kita jelang sebuah gerakan yang lebih substansial dalam memperjuangakan kedaulatan Negara, martabaat bangsa dan kejayaan rakyat. Adu domba dan pecah belah dilakukan untuk memperlemah bangsa Asia dan Afrika selama ini. Maka perlu dipikir kembali. (Munim DZ).
Terpopuler
1
Ketum PBNU dan Kepala BGN akan Tanda Tangani Nota Kesepahaman soal MBG pada 31 Januari 2025
2
Khutbah Jumat: Jagalah Shalat, Maka Allah Akan Menjagamu
3
Ansor University Jatim Gelar Bimbingan Beasiswa LPDP S2 dan S3, Ini Link Pendaftarannya
4
Paduan Suara Yayasan Pendidikan Almaarif Singosari Malang Meriahkan Kongres Pendidikan NU 2025
5
Khutbah Jumat: Mengenal Baitul Ma’mur dan Hikmah Terbesar Isra’ dan Mi’raj
6
Kongres Pendidikan NU 2025 Akan Dihadiri 5 Menteri, Ada Anugerah Pendidikan NU
Terkini
Lihat Semua