Risalah Redaksi

Makna Khittah NU

Selasa, 18 Maret 2014 | 10:20 WIB

Tanpa Khittah, NU hanyalah respon terhadap paham Wahabi di Saudi Arabia. Hanya itu, kata budayawan Ahmad Tohari di hadapan para seniman yang menamakan diri “Jamaah NU Miring” di Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Jum’at (7/3) lalu.<>

Organisasi Nahdlatul Ulama awalnya memang hanya sebuah kepanitiaan kecil beranggotakan para kiai yang dinamakan “Komite Hijaz”. Komite ini bertugas menyampaikan aspirasi kepada penguasa tanah Hijaz atau Saudi Arabia yang baru, Raja Ibnu Saud, agar umat Islam tetap diberikan kebebasan untuk bermadzab, dan agar makam dan tempat-tempat bersejarah di tanah suci tidak diratakan dengan tanah. Dan aspirasi para kiai akhirnya dikabulkan oleh Raja Wahabi itu.

Tugas Komite Hijaz telah selesai, namun sayang jika komite ini dibubarkan. Kemudian para kiai melengkapi struktur kepengurusannya agar memenuhi syarat sebagai sebuah organisasi seperti yang lainnya pada zaman pergerakan kemerdekaan. 16 Rajab 1344 bertepatan dengan 31 Januari 1926 dicatat sebagai tanggal berdirinya organisasi NU.

Meski kemunculannya insidental, apa yang menyebabkan NU eksis dan menjadi organisasi muslim terbesar sampai sekarang? Tidak lain adalah khitahnya.

Khittah NU atau Khitah Nahdliyyah sudah ada jauh-jauh hari, bahkan sebelum organisasi ini berdiri. Khittah itu semacam kepribadian khas yang dimiliki oleh umat Islam di Nusantara.

Khitah NU baru didefinisikan secara rinci pada Muktamar ke-27 NU di Situbondo, sekitar 58 tahun kemudian. Khittah NU ialah landasan berfikir, bersikap dan bertindak warga NU. Landasan itu ialah paham Ahlussunah Waljama’ah yang diterapkan menurut kondisi kemasyarakatan di Indonesia.

Terkait Khittah NU atau disebut juga Khittah 1926, Muktamar tahun 1984 itu juga merumuskan secara detail mengenai dasar-dasar paham keagamaan NU, sikap kemasyarakatan, serta usaha-usaha yang dilakukan oleh NU di bidang keilmuan, dakwah dan peningkatan kualitas hidup masyarakat.

Disebutkan, antara lain, bahwa NU mendasarkan faham keagamaanya kepada sumber-sumber: Al-Qur’an, As-Sunah, Al-Ijma’ dan Al-Qiyas. Lalu NU menggunakan jalan pendekatan (Al-Madzhab) di bidang akidah, mengikuti faham Ahlussunah Waljama’ah yang dipelopori oleh Imam Asy’ari dan Imam Maturidi, di bidang fiqh mengikuti salah satu dari mazhab empat, dan di bidang tashawuf, mengikuti antara lain Imam Baghdadi dan Imam Al-Ghazali.

Lalu sikap Kemasyarakatan NU terdiri dari empat hal yang utama. Pertama, sikap tawassuth dan i’tidal atau sikap berada di tengah-tengah, menjadi kelompok panutan, bertindak lurus, bersifat membangun, dan tidak ekstrim. Kedua, sikap tasamuh atau toleran di dalam perbedaan pendapat keagamaan serta toleran di dalam urusan kemasyarakatan dan kebudayaan. Ketiga, sikap tawazun atau keseimbangan dalam berkhidmah kepada Allah SWT, kepada sesama manusia dan kepada lingkungan hidup, serta keselarasan antara masa lalu, masa kini dan masa depan. Keempat, amar ma’ruf nahi mungkar atau kepekaan untuk mendorong perbuatan baik dan mencegah hal yang dapat merendahkan nilai-nilai kehidupan.

Sementara itu perumusan Khittah NU itu berbarengan dengan satu perubahan besar dalam sejarah organisasi NU. Sejak tahun 1952 NU bermetamorfosis menjadi organisasi politik. Bahkan pada pemilu 1955 NU menjadi salah satu partai politik yang memenangi pemilu. Dalam perjalanan selanjutnya, sampai tahun 1984 itu, NU sudah tidak nyaman di zona politik. Lalu dipimpin oleh KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), NU mengumumkan tidak lagi menjadi organisasi politik.

Pengumuman itu juga disebut sebagai langkah "Kembali Ke Khittah 1926", sehingga secara salah kaprah, Khittah NU sering didefinisikan sekedar bahwa NU sudah tidak lagi terlibat politik praktis. Padahal, maksud dari khittah NU mestinya lebih dari sekedar itu. Dan Khittah NU secara lebih rinci dan operasional terumuskan dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga atau AD/ART NU yang diperbaharui dalam Muktamar lima tahunan. (A. Khoirul Anam)