Risalah Redaksi

Memeringati Tahun Baru Secara lebih Positif

Jumat, 1 Januari 2016 | 12:14 WIB

Pembagian waktu merupakan sebuah konsep abstrak yang diciptakan oleh manusia dengan menghitung perputaran bulan dan matahari dari hitungan detik, menit, jam, sampai dengan hitungan milenium yang berdurasi 1000 tahun. Dalam tradisi berbagai agama, waktu tertentu terkait dengan berbagai perayaan dan ritual yang biasanya telah ditetapkan dalam waktu tertentu seperti pelaksanaan puasa dan hari raya Idul Fitri maupun Idul Adha.<> Konsep waktu dalam masyarakat industri dan jasa berguna untuk menghitung produktifitas yang dicapai. Karena itulah, waktu dikatakan sama dengan uang. Dalam perspektif manajemen, rentang waktu digunakan untuk membuat perencanaan, pelaksanaan sampai dengan evaluasi serta target yang ingin dicapai. 

Umat Islam memiliki kalender Hijriyah yang didasarkan pada perputaran bulan untuk menentukan pelaksanaan berbagai peribadatannya. Sementara itu, Indonesia menggunakan kalender Gregorian atau Masehi yang berakar dari tradisi Barat untuk menentukan berbagai aktifitas kegiatan pemerintahan resmi. Karena itu, di Indonesia terdapat dua kali peringatan tahun baru, yaitu 1 Muharram dan 1 Januari. Dua-duanya merupakan hari libur nasional. 

Masyarakat menyikapi dua peringatan ini dengan cara yang jauh berbeda. Tahun baru Hijriyah diperingati dengan menggelar berbagai pawai keagamaan, dzikir, atau doa bersama sementara peringatan tahun baru Masehi selalu identik dengan hal-hal yang sifatnya hura-hura. Meskipun pada awalnya peringatan tahun baru 1 Januari juga terkait dengan sebuah tradisi keagamaan di Barat, tetapi kini di Indonesia dan banyak tempat lain di dunia, peringatan ini telah mengalami sekulerisasi. Bahkan, telah banyak melanggar nilai-nilai agama secara umum seperti pesta mabuk-mabukan atau indikasi meluasnya seks bebas pada malam tahun baru itu. 

Sekalipun awalnya peringatan tahun baru Masehi hanya diperingati terbatas di perkotaan atau kalangan tertentu, kini gaung peringatan tahun baru 1 Januari semakin meluas ke seluruh penjuru negeri dengan kampanye besar-besaran oleh industri hiburan terutama melalui stasiun TV. Sesungguhnya para pemilik modal berusaha mengkapitalisasi berbagai perayaan, baik yang sifatnya keagamaan atau nonkeagamaan untuk mereguk keuntungan. Dalam perayaan Lebaran, mereka berusaha menjual segala sesuatu yang terkait Lebaran.  Dalam perayaan tahun baru, mereka juga berusaha menjual kemeriahannya. Sayangnya banyak yang kegiatan yang dijual ini tidak sesuai dengan nilai-nilai moral dan keagamaan. Bagi banyak pengusaha, yang paling penting adalah keuntungan. Di luar itu, bukan urusan mereka. 

Kelompok bisnis dan industri tertentu berusaha memanfaatkan momentum peringatan tahun baru ini untuk memaksimalkan keuntungan. Industri minuman keras dengan berbagai cara mengajak masyarakat untuk menikmati tahun baru dengan mabuk-mabukan sebagai bentuk ekspresi kemeriahan. Industri hiburan mengajak masyarakat berbondong-bondong ke lokasi tertentu, tentu dengan membayar uang, untuk menikmati hiburan selama liburan. 

Fenomena dan tantangan ini sesungguhnya bukan hanya terkait dengan Muslim tetapi juga terkait dengan ajaran agama lain. Ajaran moral dan agama samawi melarang adanya perzinaan dan mabuk-mabukan atau hura-hura secara berlebihan. Inilah yang menjadi keprihatinan para ulama. PBNU meminta agar peringatan tahun baru menjadi sarana untuk melakukan muhasabah atau introspeksi diri. Bahwa hari ini harus lebih baik dari kemarin dan hari esok harus lebih baik dari hari ini. Kalau tidak, kita akan merugi. Memasukkan nilai yang positif dalam peringatan Tahun Baru tentu juga bisa dilakukan. Rais ‘Aam KH Makruf Amin menganjurkan agar peringatan tahun baru ini dilaksanakan dengan sederhana atau berkumpul dengan keluarga. 

Menjadi tugas para ulama dan pemimpin masyarakat agar perayaan tahun baru tersebut berjalan secara positif dan Indonesia sebagai masyarakat yang mayoritas Muslim tentu harus memasukkan nilai-nilai keislaman dalam peringatan tersebut. 

Upaya memasukkan nilai keislaman ini bukanlah hal yang aneh dalam sejarah perkembangan Islam di Nusantara. Tradisi non-Muslim seperti mengirim sesajen diubah menjadi tahlilan. Suku Jawa menyebut sembahyang untuk menyebut aktifitas shalat. Semuanya berlangsung mulus tanpa menimbulkan gejolak dan hasilnya adalah Islam menjadi agama mayoritas di Indonesia. 

Secara alamiah proses islamisasi tersebut sudah mulai berjalan. Di luar hiruk-pikuk bunyi petasan dan kembang api, kini mulai tumbuh tradisi baru dengan berdzikir di berbagai masjid yang diikuti dengan pemberian wejangan oleh para dai sampai dengan tengah malam. Tradisi baru inilah yang harus didorong agar semakin cepat berkembang untuk mengarahkan energi masyarakat dalam memperingati tahun baru secara positif. Karena sifatnya yang berulang setiap tahun, maka ormas Islam seperti NU, Muhammadiyah, dan lainnya yang memiliki jejaring sampai ke level bawah bisa berkoordinasi mengajak umat untuk meramaikan masjid, mushalla, dan tempat-tempat lainnya dengan hal-hal yang positif di tahun depan dan di tahun-tahun baru selanjutnya. Para pemimpin pemerintahan yang berasal dari berbagai latar belakang kelompok keislaman tersebut juga bisa diajak memperingati momentum ini dengan perayaan yang lebih positif yang kini sudah dimulai dilakukan di beberapa tempat. (Mukafi Niam)