Risalah Redaksi

Memperalat Agama Untuk Politik

Selasa, 8 Juni 2004 | 09:51 WIB

Hidup memang butuh keahlian, tidak hanya ahli mencari maka, tetapi pandai bergaul dan bermasyarakat. Politik adalah sebuah bentuk kehidupan modern yang memang membutuhkan keahlian dalam menerjuninya. Tetapi dalam kenyataannya banyak orang berpolitik tanpa persiapan apapun, bagaimana seorang pedagang, sopir angkot, seorang preman pasar, seorang guru atau seorang ustaz tiba-tiba diterjunkan sebagai seorang politisi.

Karena mereka berpolitik tanpa keahlian, maka mereka hanya menggunakan apa yang ada sebagai sarana politik, sopir angkot berpolitik seperti seorang sopir pada umumnya yang hanya memanfatan kemampuan lobi pada polisi dengan kekuatan ototnya, seorang preman pasar berpolitik hanya dengan modal kemapuan memalak para pedagang, seorang guru berpolitik seperti menghadapi murid dengan memperdagangkan budi pekerti, sementara seorang ustaz akhirnya berpolitik dengan modal dalil agama.

<>

Penggunaan agama sebagai sarana politik sangat umum saat ini, ini bukan bukti kuatnya komitmen pada agama, tetapi menunjukkan ketidakmampuan berpolitik secara rasional dan pragramatis serta membangun agenda stategis, karena hanya agama yang dimiliki, maka agamalah yang dijadikan sarana bahkan dijadikan barang dagangan, makanya muncul fenomena penghalalan atau dukungan politik maupun  pengharaman politik.

Fenomena ini persis fenomena masyarakat asli Jakarta, masyarakat Asli Surabaya atau masyarakat asli kota Lombok, sebagai penduduk asli mereka hanya mengandalkan kekayaan warisan berupa tanah, sementara para pendatang memiliki berbagai skill di bidang perdaganagan, birokrasi dan berbagai jasa, sehingga bisa mengumpulkan kekayaan, sementara penduduk asli yang hanya bermodal tanah, maka dalam menghadapi persaingan ekonomi hanya bisa menjual tanah, yang lama kelamaan habis, lalu menjadi kelompok marjinal di daerahnya sendiri, baik secara sosial, ekonomi dan pendidikan.

Persis dengan kelompok agama, mereka berpolitik hanya mengandalkan modal agama, sementara yang lain memiliki modal konsep, strategi, kegigihan, ketekunan, kecermatan serta kesolidan dalam tim. Karena itu ketika dihadapkan pada persaingan politik yang keras, dimana kelompok lain dengan skill politiknya yang tinggi mampu menguasai massa dan wacana. Maka kalangan yang berbasis agama tidak memiliki wawasan semacam itu akhirnya merasa terpojok, lantas dalam keterpojokannya itu tidak ada pilihan lain harus menggunakan agama untuk memenangkan permainan politik mereka.

Ketika agama telah dijadikan permainan politik, maka oleh masyarakat fatwa agama tidak dihargai lagi, karena bukan dianggap sebagai sebuah seruan moral menuju ketaatan beragama, melainkan seruan bagi dukungan politik seseorang yang sama sekali tidak terkait dengan kesejahteraan rakyat termasuk kebesaran agama itu sendiri.

Memang tradisi politik memperdagangkan agama itu tidak lain dengan melakukan kaderisasi politik yang intensif, sehingga tradisi menjual agama dengan harga murah sehinga agama menjadi tertawaan massa bisa dihindari. Pengharaman bunga bank, maupun pengharaman pemimpin wanita akan dianggap masyarakat sebagai angin lalu.

Itu memang pendapat agama lama, tetapi karena ‘adah dan ‘illah yang berbeda maka hukum agama juga berubah sesuai perubahan ‘adah dan ‘illah (sebab).  Para tokoh agama mestinya bisa melihat realitas sosial dan politik semacam ini, sehingga tidak menggunakan doktrin agama secara sembarangan tanpa melihat empan dan papan atau situasi dan kondisi, akhirnya agama kehilangan relevansi. Padahal relevansi agama itu yang perlu diperkuat saat ini (MDZ)