Dalam ilmu politik di kenal adanya rezim korporatif, yaitu suatu rezim yang menggunakan semua elemen baik sosial, politik, pendidikan, kesenian maupun keagamaan sebagai state apparatus (aparat negara ) yang digunakan sebagai sarana kontrol dan represi terhadap rakyat, sehingga rakyat hanya boleh bergerak sesuai dengan kehendak negara.
Tetapi perkembangan politik korporasi belakangan ini mememiliki karakter sebaliknya, yaitu partai politik diperlakukan oleh para fungsionaris partai sebagai sebuah korporasi atau sebuah perusahaan terbatas, bukan perusahaan publik yang terbuka (Tbk). Dalam sistem ini pimpinan partai berperan sebagai komisaris, mereka bisa menghibahkan saham politik pada kroninya, atau menjual pada kelompok yang mampu membayar mahal saham tersebut.
Dalam kultur korporasi ini partai tidak butuh konstituen, tetapi butuh investor, dana dari para investor itulah yang kemudian digunakan untuk memborong saham publik yang dalam hal ini adalah suara publik (pemilih). Dalam konteks ini tidak ada lagi perjuangan, tiada pula komitmen, baik yang bersifat sosial, kenegaraan maupun kebangsaan, semuanya bersifat kontraktual, tidak ada lagi pengabdian, semuanya menjadi perdagangan, menerima dan memberi dalam arti materi dan tidak sebanding. Partai mendapatkan posisi, sementara rakyat pemilih hanya sesuap nasi.
Melihat kenyataan itu rakyat bersifat pragmatis, sebagaian bersifat apatis. Tidak seperti dulu rakyat yang dengan keswadayaannya membangun basis partai, membuat posko, membuat bendera dan menyelenggarakan kampanye secara mandiri, karena merasa partai masih merupakan lembaga publik sebagai sarana perjuangan yang mereka ada di dalamnya. Tetapi ketika melihat partai politik telah ditrasfigurasi sebagai sebuah lembaga dagang milik para elite fungsionaris, maka mereka enggan memberikan pengorbanan, sebab pengurbanan yang mereka berikan selama ini, tidak memberikan pada rakyat, melainkan hanya dinikmati elite partai, baik yang ada di pengurus partai maupun yang ada di legislatif termasuk yang di eksekutif. Sebab semuanya lebih mengabdi pada kepentingan investor ketimbang aspirasi konstituen, sebab konstituen tidak lagi punya hak pilih, sebab hak pilih mereka telah dibeli, setelah transaksi jual beli lewat kampanye selesai, putuslah hubungan antara partai dan pemilih, sebab hak-hak pemilih telah dipenuhi saat kampanye dengan hanya uang recehan.
Pergeseran nilai yang dipicu oleh pragmatisme para elite partai ini memang sangat memprihatinkan terhadap tumbuhnya budaya politik yang sehat, hal itu tidak hanya menghancurkan sistem politik, tetapi juga akan mengacaukan sistem social. Masyarakat tidak lagi terwadahi secara politik, mereka akan menjadi kelompok teralienasi, di luar segala proses politik yang ada, rakyat tidak punya hak menentukan nasib sendiri. Dalam situasi begini ketika terjadi kerusuhan sosial, partai politik tidak akan bisa berbuat apa-apa, sebab kemarahan sosial bukan termasuk yang dibeli, di sisi lain partai politik juga tidak punya hak moral untuk melerai, karena pada dasarnya partai juga tidak peduli terhanap keamanan nasional atau kepentingan nasional.
Dalam situasi disorganized (tak terorganisasi) semacam itu, masyarakat akan mencari bentuk tatanan baru yang aman, melalui paguyuban kelompok etnis, kelompok agama, atau kelompok hobi, profesi dan sebagainya. Karena pada dasarnya masyarakat tidak senang hanya diperalat semacam itu, tidak punya peran semacam itu, menjadi gelandangan politik, dalam arti tidak memiliki komitmen semacam itu.
Pada dasarnya masyarakat tetap menginginkan adanya komitmen kebersamaan, karena mereka masih memiliki cita-cita yang bisa diperjuangkan bersama, baik melaui lembaga social maupun lembaga politik semacam partai. Karena itu masyarakat mengalami disorientasi ketika partai politik yang dulu merupakan lembaga perjuangan bagi kepentingan rakyat, tetapi telah diubah menjadi sebuah korporasi (perusahaan) untuk memperoleh kekayaan, tanpa ada tujuan. Inilah kenyataan yang kita hadapi saat ini. Dalam suasana kampanye pemilu semacam itu semakin nata wajah korporasi dari partai politik yang ada, sebab sekarang inilah saatnya para fungsionaris partai memborong saham-saham publik, suara publik, untuk membangun kekuatan politik di masa depan. (MDZ)
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Jagalah Shalat, Maka Allah Akan Menjagamu
2
Ini Amalan Jumat Terakhir Bulan Rajab, Bisa Jaga Keberkahan Rezeki Sepanjang Tahun
3
Khutbah Jumat: Mengenal Baitul Ma’mur dan Hikmah Terbesar Isra’ dan Mi’raj
4
Paduan Suara Yayasan Pendidikan Almaarif Singosari Malang Meriahkan Kongres Pendidikan NU 2025
5
7 Penerima Penghargaan Pesantren dalam Malam Anugerah Pendidikan NU
6
Kongres Pendidikan NU 2025 Akan Dihadiri 5 Menteri, Ada Anugerah Pendidikan NU
Terkini
Lihat Semua