Risalah Redaksi

MENEGASKAN KEMBALI JATI DIRI BANGSA

Kamis, 9 Juni 2005 | 02:16 WIB

Pengantar

Selama ini kita tak hasis-habisnya mendengar keluhan orang tentang kualitas bangsa ini yang katanya bangsa lemah, bangsa kerdil, bangsa budak sampai ada yang mengatakan sebagai bangsa terjajah. Suara itu semakin kencang bersamaan dengan peringatan hari lahir Pancasila 1 Juni yang lalu. Lantas dicarilah penyebabnya, mereka akhirnya menemukan penyebabnya yang bersifatsangat teknis, seperti kurang terpelajar, kurang memiliki motivasi serta etos kerja rendah. Maka kemudian penyelesaian yang ditempuh juga bersifat teknis, mereka ditraining, lalu dimotivasi, kemudian diberi reward yang memadai. Dengan penyelesaian teknis semacam itu ternyata hasilnya tidak makin baik, tetapi sebaliknya semakin buruk.

<>

Mereka tidak pernah melihat bahwa tinggi rendahnya kualitas bangsa sangat berkaitan dengan sosal-soal yang lebih mendasar yang bersifat filosofis, ideologis dan histories. Yakni bagaimana bangsa ini mengkonstruksi dirinya, mencitrakan dirinya atau merumuskan jati dirinya. Tanpa adanya penegsan kembali atau perumusan ulang terhadap jati diri bangsa ini, seluruh penyelesaian yang ditempuh akan menemui jalan buntu, bahkan akan memperparah keadaan. Sebab setiap penyelesaian selalu diiringi dengan pencerabutan atau bahkan pengrusakan terhadap nilai-nilai yang selama ini dimiliki. Maka persoalannya di sini tidak hanya terdapat problem struktur, tetapi juga ada problem mental, problem kesadaran.

Beberapa Bentuk Kontruksi

Jauh sebelum bangsa ini merdeka, kalangan aktivis pergerakan maupun kalangan cendekiawan telah berusaha merumuskan atau mengkontruksi sosok bangsa ini. Ada yang mengkonstruksi bahwa bangsa ini adalah bangsa yang sama sekali baru, yang lahir dari rahim Hindia Belanda. Untuk menjadi bangsa yang maju harus belajar pada sejarah dan kebudyaan Belanda dan Barat pada umumnya yang progresif, rasional yang memiliki tanggung jawab individual. Sementara kebudayaan nasional sendiri dianggap statis, mistik dan komunal, yang tidak relevan dengan kebutuhan kekinian. Pandangan itu dirumuskan oleh Sutan Takdir Alisjahbana dan kawan-kawannya, yang menganggap bangsa Indonesia sebelum kebangkitan dan kemerdekaan sebagai zaman jahiliyah.

Sementara itu di pihak lain ada yang berpendapat bahwa bangsa ini memiliki akar jauh dalam sejarah Nusantara, untuk itu pembangunan bangsa ini bisa belajar banyak pada pengalaman, pengetahuan dan filsafat yang berkembang di Dunia Timur, Nusantara khususnya. Namun demikian tidak menutup kemungkinan untuk belajar kepada kebudayaan lain yang dianggap perlu. Itupun dilakukan melalui proses seleksi, kontektualisasi dan adaptasi. Itulah yang disebut dengan akulturasi budaya. Bukan adobsi (menelan mentah-mentah) kebudyaan lain. Pandangan itu diutarakan oleh Ki Hajar Dewantara maupun Dr. Soetomo.

Kedua pandangan yang berlawanan tersebut terus bertarung mencari pengaruh, baik semasa zaman pergerakan, sampai pada masa awal kemerdekaan, pencitraaan terhadap identitas dan sosok bangsa ini  terus terjadi.terlebih lagi ketika berbagai organisasi baik yang bersifat social maupun politik muncul. Wacana itu muncul berbagai forum diskusi, forum konstituante sampai ke opini media massa.

Dari Citra ke Realita

Ketika Indonesia merdeka, dengan Soekarno sebagai kepala negara, pandangan Ki Hajar Dewantoro yang dipakai. Sebagai kepala negara ia mengaplikasikan pandangannya itu dalam kebijakan politik dan kebudyaan secara riil. Soekarno adalah orang yangs angat apresiatif terhadap sejarah, terutama setelah pertemuannya dengan Dr. Setia Budhi. Dengan adanya pengetahuan sejarah itu ia sadar bahwa ia berasal dari bangsa yang besar, bangsa yang merdeka, berdaulan dan beradap yang melahirkan karya-karya besar baik dalam bentuk tatanan politik dalam bentuk kerajaan, maupun dalam bentuk teknologi maupun karya sastera

Menyambungkan akar sejarah itu yang dilakukan oleh Soekarno, karena itu ajakan untuk mengingingat sejarah, sejarah dan masa lalu bangsa ini sangat ditekankan. Dengan adanya akar sejarah itu bangsa ini akan mampu melakukan lengkah-langkah besar untuk meju ke depan dengan metode dan modal sendiri. Dengan adanya pengalaman sejarah itu orang juga bisa membuat penilaian, tentang baik buruk, jahat dan bajik, timpang atau adil nya sebuah sistem atau keadaan. Tanpa adanya perbandingan dengan sejarah itu orang tidak bisa melihat ketidakadilan social yang terjadi, bahkan  diterima sebagai kelaziman.

Dengan adanya pengetahuan dan pengalaman sejarah seseorang bisa melihat mana yang jahat dan mana yang baik mana yang adil dan mana yang timpang, kemudian melakuakan penilaian bahawa ketimpangan itu tidak bisa dibiarkan, tetapi harus ditolak dan dilawan. Kesadaran sejarah yang melahirkan kesadaran tentang jati diri bangsa