Jumlah penduduk Indonesia yang sangat besar memberikan tekanan yang luar biasa pada bangsa yang tidak memiliki pemerintahan yang kuat dan disiplin yang tinggi. Akibatnya penduduk yang besar itu bukan menjadi potensi, tsebaliknya menjadi beban baik secara ekonomik, politik, ekologis dan cultural.
Dengan tidak adanya kebijakan ekonomi yang nasionalistik dan pro rakyat, maka seluruh aktivitas ekonomi yang berorientasi pertumbuhan yang hanya peduli pada pemiliki mopdal itu membuat ribuan tenaga kerja tidak terserap, akhirnya terjadi pemiskinan yang berat. Sebagai negara padat penduduk mestinya pemerintah menerapkan pengembangan ekonomi dengan prinsip pemrataan, sehingga setiap level dan semua sektor bisa berkembang.
<>Demikian pula orientasi pengembangan industri mestinya diarahkan pada industri padat karya, sehingga mampu menyerap tenaga kerja sebanyak-banyknya. Dengan begitu akan terjadi kesejahteraan yang merata. Sebaliknya yang dilakukan pemerintah justeru industri manufaktur yang padat modal, akhirnya hanya memerlukan modal dan mesin, sehingga tenaga kerja terdidik banyak yang menganggur akhirnya menjadi pembantu, sektor informal atau menjadi TKI di luar negeri.
Peristiwa lebaran merupakan yang baru lalu sebagamana yang terdahulu menunjukkan adanya arus demografi yang sangat padat, baik ketika terjadi arus mudik maupun arus balik. Hanya saja pemerintah dan pengamat sering keliru bahwa tidak dengan sendirinya adanya arus balik itu ada peningkatan pendatang ke Jakarta, sebab tidak sedikit mereka yang melakukan reruralisasi bersamaan dengan arus mudik, sehingga tidak sedikit mereka yang menetap di kampung hanya sebagian yang balik ke Jakarta. Maka sebagian yang balik pendatang baru, menggantikan posisi ara pekerja lama yang sekadar ingin mencari pengalaman di ibukota.
Kecemasan tidak perlu terjadi sebagaimana dialami oleh para pejabat di Jakarta. Kalaupun ada lonjakan urbanisasi mereka itu tidak bisa dipersalahkan, sebab yang salah adalah kebijakan pemerintah dalam menentukan orientasi pembangunan, yang di samping hanya berorientasi pertumbuhan juga hanya bororientasi kota. Bahkan semakin besar kota semakin tinggi porsi pembangunannaya, sehingga Jakarta sebagai kota terbesar mau tidak mau menerima beban urbanisai paling besar. Dengan demikian juga mendapatkan tekanan demografis paling besar.
Sementara kota kecil apalagi desa semakin tidak berdaya secara ekonomi. Sektor pertanian yang berkembang di sana selalu menghadapi pasar global yang dibiarkan beroperasi secara liar oleh pemerintah. Bahkan dengan berbagai alasan pemerintah memfasilitasi arus barang asing dalam menyerbu produk rakyat baik pertanian mauupun industri. Saat petani panen pemerintah malah mengimpor beras, sehingga harga beras anjlok, demikian pula impor gula yang dilakukan pemeriuntah secara semena-mena membuat petani tebu dan industri gula terpuuruk.
Semuanya itu terjadi karena sekali lagi pemerintah tidak berorientasi nasional dan kerakyatan, tetapi berorientasi calo, menjadi calo bagi para mafia gula dan beras baik lokal maupun internasional. Mental jongos dan kuli itu dialami pemerintah dan para akademisi kita, sehingga mendorong melakukan impopr sesuatu yang tidak hanya dibutuhkan tetapi membahayakan ketenteranman negara.
Di sinilah pemerintah tidak perlu berteriak mengenai besarnya arus urbanisasi. Semuanya itu sia-sia, atau hanya berpura-puras, sebab pokok masalahnya bukan kemauan mereka melakukan urbanisasi, tetapi karena mereka terpaksa bahkan dipaksa oleh keadaan untuk melakukan urbanisasi. Kebijakan pemerintah itu sendirilah yang mendorong mereka melakukan urbanisasi. Selama pemerintah belum mengubah kebijakan politiknya, maka semakin dears terjadi arus urbanisasi. Ini artinya semakin memperluas kesenjangan sosial dan ekonomi.
Kesenjangan itu bisa diatasi dengan memperkuat pembangunan daerah sehingga distribusi kesempatan dan kesejahteraan bisa diratakan. Dengan cara pandang seperti itu maka kreativitas rakyat juga akan tumbuh, bukan melalui otonomi daearah yang elitis seperti sekarang ini. Ini malah melahirkan predator baru yang justru sangat kuat menciptakan kesenjangan sosial di daerah.
Dengan adanya pemerataan kesejahteraan, maka jumlah penduduk yang besar ini menjadi potensi yang sangat besar. Mereka dijadikan sebagai manusia yang kreatif, sehinga tidak lagi menjadi beban. Semuanya ini tergantung pemerintah bagaimana mengelola kekuasaan, terutama dalam menentukan kebijakan. Sebagai sebuah negara dengan penduduk besar maka negara dituntut untuk bisa mengelola arus demografi yang sedang berlangsung sehingga penduduk tidak terkonsentrasi di satu tempat, tetapi bisa terdistribusi secara proporsional. (Mun’im DZ)
Terpopuler
1
Ketum PBNU dan Kepala BGN akan Tanda Tangani Nota Kesepahaman soal MBG pada 31 Januari 2025
2
Ansor University Jatim Gelar Bimbingan Beasiswa LPDP S2 dan S3, Ini Link Pendaftarannya
3
Paduan Suara Yayasan Pendidikan Almaarif Singosari Malang Meriahkan Kongres Pendidikan NU 2025
4
Kongres Pendidikan NU 2025 Akan Dihadiri 5 Menteri, Ada Anugerah Pendidikan NU
5
Pemerintah Keluarkan Surat Edaran Pembelajaran Siswa Selama Ramadhan 2025
6
Doa Istikharah agar Dapat Jodoh yang Terbaik
Terkini
Lihat Semua