Algoritma di internet ikut menjadi biang keterbelahan masyarakat, termasuk dalam pandangan agama karena algoritma menyuguhkan artikel atau pendapat senada yang sering kita buka atau sukai.
Achmad Mukafi Niam
Penulis
Ramadhan menjadi momen ketika banyak orang menjadi lebih beriman, lebih banyak beribadah, dan mempelajari persoalan-persoalan agama. Pada bulan inilah konten-konten keagamaan semakin banyak diproduksi dan diunggah di TV, media daring, koran, termasuk di media sosial. Semuanya untuk memenuhi kehausan Muslim akan konten keislaman.
Sebagaimana dipahami, sejak zaman dahulu terdapat perbedaan pandangan di antara para ulama terhadap persoalan tertentu yang dalam Islam disebut sebagai masalah khilafiyah yang merupakan persoalan dari cabang-cabang agama, bukan pokok ajaran Islam. Perbedaan terjadi karena pesan yang disampaikan dalam ayat Al-Qur’an bersifat global dan abstrak sehingga memungkinkan terjadinya banyak tafsir. Perbedaan pandangan dan saling klaim kebenaran ini juga muncul di dalam konten-konten yang diunggah di berbagai platform media.
Perbedaan tafsir terjadi karena sejumlah faktor. Masyarakat yang berlatar belakang pertanian, industri, atau perdagangan akan memandang satu ketentuan dalam hukum muamalah dalam perspektif berbeda; laki-laki dan perempuan dalam soal tertentu memiliki perbedaan pendapat terkait poligami dan keadilan; zaman baru yang memunculkan pengetahuan dan teknologi baru akhirnya juga mengubah pendapat masyarakat tentang fenomena alam—ahli yang berlatar belakang fiqih, tasawuf, ilmu kalam bisa memiliki sudut pandang yang berbeda dalam satu soal yang sama. Mereka yang hidup di daerah tropis, gurun, atau kutub bisa beda pendapat dalam soal hukum thaharah; dan lainnya
Kompleksitas persoalan tersebut membuat sejumlah persoalan tidak dapat didekati hanya dalam satu sudut pandang.
Dalam fiqih, terdapat empat mazhab utama yang menggambarkan variasi pandangan dalam persoalan-persoalan Islam. Nahdlatul Ulama mengakui empat mazhab, yaitu Imam Maliki, Imam Hanafi, Imam Syafi’i, dan Imam Hanbali sekalipun pandangan yang banyak dipraktikkan di Indonesia adalah Imam Syafi’i.
Terdapat satu masa di Indonesia ketika terjadi perdebatan sengit tentang hal-hal yang sifatnya furu'iyah atau masalah cabang seperti jumlah rakaat tarawih, pemakaian doa qunut, tahlil, bacaan shalawat, dan lainnya. Namun, kemudian terjadi kesadaran bahwa perbedaan tersebut tidak akan pernah selesai sehingga saling menghargai pendapat lebih utama dibandingkan mengklaim bahwa hanya pendapatnya saja yang benar sedangkan pendapat pihak lain salah. Bahkan joke yang muncul terkait tidak ramainya lagi perdebatan soal status doa qunut dalam shalat subuh karena pihak-pihak yang berdebat sama-sama kesiangan bangun paginya.
Namun belakangan, perdebatan soal khilafiyah ini kembali dikemukakan oleh sebagian dai baru yang berdakwah di media sosial. Para dai tersebut menjawab dengan lugas dan singkat persoalan yang diajukan oleh jamaah, yang kadang ditanyakan lewat secarik kertas atau ditanyakan secara langsung. Mereka mengklaim hanya pandangannya yang benar sementara pandangan berbeda dianggap salah. Diksi kafir, sesat, bid’ah, atau taghut sering digunakan oleh dai-dai seperti ini. Kadang disertai ancaman masuk neraka bila tidak mengikuti pendapatnya.
Sayangnya forum ceramah tersebut cenderung dogmatis dan satu arah. Jamah tidak diajak berdiskusi atau mengeksplorasi berbagai pandangan dalam satu masalah. Sebagai contoh, semua ulama mengharamkan riba karena hal tersebut telah ditegaskan dalam Al-Qur’an, tetapi ketika membahas apakah bunga bank termasuk riba atau tidak, ulama berselisih pendapat.
Di tangan dai yang dogmatis ini, ia langsung merujuk ayat dan hadits yang menyatakan bahwa bunga bank termasuk riba, tanpa mempertimbangkan berbagai pendapat lainnya sebelum akhirnya memutuskan bahwa pendapat tertentu lebih kuat dibandingkan dengan yang lainnya. Persoalan yang kompleks dibahas dengan pendekatan hitam putih.
Dai-dai yang suka mengklaim dirinya paling benar umumnya memiliki pengetahuan agama yang baik. Mereka dapat dengan fasih mengutip ayat atau hadits—yang akhirnya membuat mereka dipercaya oleh jamaah-- untuk mendukung pendapatnya. Namun, sayangnya perspektif yang mereka gunakan umumnya hanya terbatas, bahkan tekstual dalam memandang persoalan agama, padahal persoalan yang dihadapi menyangkut soal kemasyarakatan yang kompleks.
Para dai yang sering mengklaim pendapatnya yang paling benar inilah yang akhirnya sering mendapat penolakan dari masyarakat. Kontroversi akhirnya timbul antara para pendukung dan penentang dai tersebut. Kadang bahkan diikuti dengan caci maki antarpendukung, yang mana yang tersebut sudah keluar dari ajaran Islam.
Algoritma di internet ikut menjadi biang keterbelahan masyarakat, termasuk dalam pandangan agama karena algoritma menyuguhkan artikel atau pendapat senada yang sering kita buka atau sukai. Mereka yang suka mengikuti dai yang mengkafir-kafirkan kelompok lain akan disuguhi pendapat yang sama. Akhirnya dia seperti dalam ruang gema yang memperkuat pandangan yang selama ini sudah diyakini benar, padahal terdapat beragam pendapat dalam satu persoalan.
Satu hal yang mendasar yang perlu kita yakini dalam beragama adalah pentingnya penghargaan terhadap keyakinan atau pandangan lain. Jangan sampai persoalan khilafiyah membuat umat Islam terpecah-belah. Jangan sampai kita lebih menonjolkan sisi perbedaan, sementara kesamaan dan tujuan bersama yang harus diperjuangkan seolah-olah terkalahkan oleh berbagai ragam pendapat. Dalam hal ini, perlu kearifan dari para dai dalam menyampaikan dakwahnya. (Achmad Mukafi Niam)
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Gambaran Orang yang Bangkrut di Akhirat
2
Khutbah Jumat: Menjaga Nilai-Nilai Islam di Tengah Perubahan Zaman
3
Khutbah Jumat: Tolong-Menolong dalam Kebaikan, Bukan Kemaksiatan
4
Khutbah Jumat: 2 Makna Berdoa kepada Allah
5
Khutbah Jumat: Membangun Generasi Kuat dengan Manajemen Keuangan yang Baik
6
Rohaniawan Muslim dan Akselerasi Penyebaran Islam di Amerika
Terkini
Lihat Semua