Sejumlah tokoh NU dikabarkan menjadi kandidat utama bakal calon wakil presiden yang digadang-gadang akan mendampingi Joko Widodo dalam pemilihan presiden 2019 mendatang. Tanggal 10 Agustus merupakan akhir penetapan dan pendaftaran calon pasangan presiden-wakil presiden menjadi saat-saat yang sibuk para politisi yang bertarung untuk memperebutkan jabatan paling strategis di Indonesia ini. Nahdlatul Ulama yang merupakan organisasi sosial keagamaan dengan kekuatan massa sangat besar turut bersinggungan dengan momen politik lima tahunan ini.
Posisi strategis NU bahkan bukan hanya terkait dengan kader NU yang dinominasikan sebagai calon wakil presiden. Salah satu kandidat bakal calon presiden juga menyatakan bahwa jika dirinya mengambil pasangan calon wapresnya, maka yang akan diambil adalah cawapres yang bisa diterima oleh warga NU.
NU telah memiliki pengalaman panjang terkait dengan politik praktis. Pada era Orde Lama, NU merupakan partai politik berpengaruh, selanjutnya, pada era Orde Baru, partai NU dengan partai-partai Islam lainnya berfusi dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Dinamika dalam berpartai tersebut selanjutnya melahirkan khittah NU 1926, yaitu kembalinya NU menjadi jamiyah diniyah ijtimaiyah. Yaitu menjadi organisasi keagamaan. Situasi keterbukaan pada era Reformasi membuat peluang politik terbuka lebar. Banyak kader NU mengisi ruang-ruang politik tersebut.
Kembali ke khittah sudah disepakati secara bersama-sama. Yang menjadi persoalan sampai saat ini adalah definisi khittah ketika terjadi momen-momen politik. Banyak sekali kekuatan politik yang ingin mendapatkan dukungan NU dengan kekuatan massanya yang luar biasa ini untuk meraih kemenangan politik. Tak sedikit pengurus NU yang dalam masa jabatannya kemudian mencalonkan diri dalam jabatan-jabatan publik seperti gubernur, bupati, atau walikota.
Secara organisasi, tak ada satu pun pernyataan resmi yang mengatasnamakan bahwa NU mendukung calon atau partai tertentu. Wilayah abu-abu adalah ketika para pengurus NU ramai-ramai mengatasnamakan dirinya sebagai pribadi, sebagai warga negara yang berhak menyatakan dirinya untuk menyampaikan aspirasi politik ketika terlibat dalam kontestasi politik praktis.
Sebagai pemimpin organisasi dengan keterikatan kultural yang kuat, sesungguhnya sangat susah untuk membedakan ranah individu dan ranah sebagai pemimpin organisasi. Kredibilitas yang dimiliki naik secara drastis ketika ia menduduki jabatan strategis dalam organisasi tertentu yang dipercaya masyarakat. Modal sosial dimiliki dapat digunakan untuk akses untuk akselerasi vertikal yang lebih tinggi.
NU memiliki pengalaman yang dapat menjadi pelajaran terkait dengan politik praktis. Pada pemilihan presiden tahun 2004 ketika para tokoh penting NU menjadi calon wakil presiden Warga NU, termasuk para ulama terbelah dalam memberikan dukungan di antara dua kandidat yang mengusung cawapres berlatar belakang NU. Tak ada pernyataan organisasi secara resmi yang menyatakan dukungan pada calon tertentu, tetapi masing-masing kandidat jaringan NU yang dimilikinya. Tak ada dukungan resmi dari Ansor atau Muslimat NU, tetapi sejumlah ketua dan pengurusnya, tentu saja atas nama pribadi, menjadi tim sukses pemenangan salah satu calon. Warga NU terfragmentasi dalam berbagai pilihan yang saling meniadakan. Antara tokoh satu dengan yang lainnya berkontestasi untuk memenangkan kandidat yang didukungnya. Efek pilpres 2004 masih terasa dalam pelaksanaan muktamar 31 NU pada 2005 yang berlangsung di Asrama Haji Donohudan Solo.
Hal yang sama terjadi pula pada proses pemilihan gubernur Jawa Timur yang baru saja berlalu dengan kemenangan Khofifah Indar Parawansa atas Syaifullah Yusuf. Dua-duanya merupakan tokoh NU, yaitu Khofifah sebagai ketua umum Muslimat NU sedangkan Syaifullah Yusuf merupakan salah satu ketua PBNU. Sebelumnya ia merupakan ketua umum GP Ansor. Tak ada sikap resmi dari Muslimat NU atau PWNU Jawa Timur yang menyatakan dukungan kepada salah satu kandidat, namun para aktivis di Muslimat NU secara kasat mata memberi dukungan Khofifah. Demikian pula, sejumlah pengurus NU Jatim dengan jelas terlibat dalam sejumlah kampanye pemenangan Syaifullah Yusuf.
Yang cukup berbeda dari keterlibatan tokoh struktural NU dalam penentuan capres-cawapres tahun 2004 dan era-era sesudahnya adalah sikap para aktivis NU. Pada masa tersebut, pengurus NU yang terlibat dalam politik praktis mendapat kritikan keras dari para aktivis sebagai orang-orang yang melanggar khittah. Kini, suara-suara untuk menjaga khittah NU tak sekencang dahulu. Bahkan di saat ruang untuk mengekspresikan pendapat di media sosial semakin terbuka lebar. Sejumlah aktivis NU bahkan jauh terlibat dalam arus kekuasaan.
Pendirian Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) sesungguhnya diniatkan sebagai saluran aspirasi politik warga NU. Sementara NU tetap mengurusi politik tingkat tinggi, menjadi penjaga bangsa, menjadi organisasi massa Islam. Tetapi ternyata tak mudah mengelola hubungan ini. Hubungan NU-PKB sejak pendirian partai tersebut didirikan penuh dinamika. Ada suatu masa ketika hubungan tersebut bak bapak dan anak yang masing-masing jalan sendiri. Saat lainnya, menjadi satu keluarga yang sudah sama-sama dewasa, yang saling mendukung satu sama lain dengan tetap menghormati posisinya.
Ranah kerja-kerja sosial kemasyarakatan kini menunggu sentuhan tangan-tangan para pengurus dan aktivis NU untuk mengelolanya. Ada puluhan universitas NU yang baru didirikan dalam tahun-tahun belakangan ini yang membutuhkan kerja keras untuk membesarkannya sebagai ruang untuk memberikan pelayanan pendidikan. Sejumlah pusat layanan kesehatan sedang dalam proses pengerjaan agar warga NU memiliki kesehatan yang baik. Inisiatif pengembangan ekonomi masyarakat yang diinisiasi di lingkungan NU juga bergairah untuk warga yang sejahtera. Berbagai kelompok masyarakat tak henti-hentinya menyampaikan keluhan atas nasib mereka di sejumlah daerah juga membutuhkan advokasi.
Nahdlatul Ulama juga memiliki perhatian yang sangat tinggi terhadap isu-isu perdamaian baik di tingkat nasional maupun internasional yang belakangan ini mengalami banyak tantangan. Upaya-upaya perdamaian dan rekonsiliasi dan domestik dan internasional terus digalang. Konservatisme beragama yang belakangan menguat menjadi tantangan yang harus dihadapi. NU dengan nilai-nilai Islam moderatnya memiliki peluang untuk membuat Islam di Indonesia tetap sebagai Islam yang moderat dan cinta damai. Pada ruang-ruang inilah kita mencurahkan energi.
Ruang abu-abu yang saat ini masih luas, khususnya terkait dengan posisi para pengurus NU sebagai pribadi dan mewakili organisasi sudah saatnya diperjelas. Hal ini untuk menghindari pemanfaatan organisasi untuk kepentingan individu mengingat sangat susah untuk memisahkan dengan tegas antara keduanya. Aturan yang baik dan disertai dengan mekanisme agar aturan tersebut bisa berlaku dengan baik akan membuat organisasi bisa berjalan dengan tertib. (Achmad Mukafi Niam)