Kepentingan bisnis dan kepentingan moral dan agama tak selalu berjalan seiring. Bagi kalangan bisnis, keuntungan adalah tujuan nomor satu sedangkan hal lainnya, bukan urusannya. Selama sudah membayar kewajibannya membayar pajak –itupun kalau dibayar dengan benar-, hal lain bukan lagi urusannya. Berbeda dengan kepentingan moral dan agama yang mengutamakan nilai-nilai kebaikan masyarakat di atas kepentingan lain, termasuk keuntungan material. Idealnya dua kepentingan ini bisa berjalan beriringan, tetapi dunia memang tak selalu ideal.
Pertarungan kepentingan inilah yang saat ini sedang terjadi di DPRD Surabaya. Komisi B dalam rapatnya baru-baru ini menyetujui rancangan peraturan daerah (raperda) penjualan minuman keras atau minuman beralkohol dijual bebas di minimarket. Keputusan tersebut merupakan buah dari relaksasi Peraturan Kementerian Perdagangan Nomor 6/M-DAG/PER/1/2015 tentang Pelaksanaan Pengendalian Peredaran dan Penjualan Minuman Beralkohol Golongan A. Dalam peraturan lama, regulasi minuman keras diatur oleh pemerintah pusat. Peraturan baru memberi hak pemerintah daerah untuk mengatur peredaran miras ini.
“Pertarungan” dalam pemasaran minuman keras ini memang “keras”. Saat Kementerian Perdagangan dipimpin oleh Rahmat Gobel, ia merevisi aturan sebelumnya yang membebaskan miras dijual di minimarket dengan alasan untuk menyelamatkan generasi muda. Saat itu, miras dengan gampang dibeli siapa saja di minimarket, tak peduli anak belum cukup umur. Yang penting bisa membayar. Masyarakat pun menjadi resah. Kondisi inilah yang direspon oleh Rahmat Gobel dengan membuat aturan yang lebih ketat bahwa minuman keras hanya bisa dijual di lokasi tertentu yang tidak semua orang bisa menjangkaunya. Sayangnya ia menjadi salah satu menteri yang terkena resuffle. Menteri Perdagangan yang baru Thomas T Lembong kemudian melakukan revisi ulang aturan tersebut yang membuka pintu bagi daerah untuk mengatur tempat penjualan minuman keras pada pedagang eceran. Aturan baru ini mengambil momentum Paket Kebijakan Ekonomi yang dikeluarkan pada September 2015.
Bagi bangsa dengan keyakinan dan tradisi beragam, perubahan aturan ini terlihat benar. Ada daerah-daerah dengan mayoritas keyakinan non-Muslim atau tradisi yang memang sudah akrab dengan minuman keras. Sayangnya, para pengambil kebijakan dan pembuat aturan di DPRD tidak sepenuhnya bisa dipercaya akan membela kepentingan rakyat yang diwakili di atas kepentingan bisnis. Peluang pemanfaatan aturan ini terbuka lebar dengan kemungkinan adanya kongkalikong penguasa dan pebisnis.
Jika upaya yang dilakukan DPRD Surabaya ini berhasil, mungkin saja daerah lain segera menyusul. Apa yang terjadi di Surabaya ini merupakan bentuk dari uji coba perubahan peraturan. Para pebisnis minuman keras tentu akan berusaha memperluas pasarnya, seluas-luasnya. Masyarakat didorong untuk mengkonsumsi miras sebanyak-banyaknya. Dari situlah keuntungan mereka juga akan meningkat setinggi-tingginya. Tapi yang jadi korban adalah masyarakat. Warga NU dan masyarakat pada umumnya tentu saja menolak kebijakan ini demi kepentingan yang lebih besar. Apa yang dilarang oleh ajaran agama, pasti mengandung kebaikan. Dalam Islam, mabuk merupakan salah satu dosa besar, yang bisa mengarah pada dosa besar lainnya. Saat seseorang menjadi mabuk dan kehilangan akal, ia akan lebih mudah melakukan tindakan melanggar hukum lainnya. Salah satu bentuk penolakan ini disampaikan oleh Ikatan Pelajar NU Surabaya.
Keberadaan sebuah bisnis harus dilihat dampaknya dalam masyarakat. Para ekonom menyebutnya sebagai eksternalitas. Bisnis yang menimbulkan dampak negatif bagi publik (eksternalitas negatif) dan hanya memberi keuntungan kepada segelintir orang harus dicegah perkembangannya. Dalam hal ini, bisnis minuman beralkohol masuk kategori ini. Dampak buruk, baik kesehatan, kriminalitas atau nilai-nilai agama harus menjadi perhatian serius para pengambil kebijakan, bukan hanya kepentingan jangka pendek dan berupa keuntungan uang semata.
Para pemangku kepentingan di Surabaya, termasuk didalamnya ulama, aktivis, pendidik, dan lainnya harus menentang kebijakan ini. Para anggota DPRD yang telah dipercaya oleh masyarakat untuk mewakili kepentingannya harus menjadi garda terdepan agar rancangan tersebut tidak menjadi peraturan daerah. (Mukafi Niam)