Risalah Redaksi

Momentum Kuatkan Islam Moderat dalam Kunjungan Grand Syekh Azhar

Jumat, 26 Februari 2016 | 06:30 WIB

Pekan ini, Muslim Indonesia menerima tamu kehormatan Grand Syekh Al-Azhar Ahmed Muhammad Ahmed El Tayeb yang kedudukan di Mesir setara dengan perdana menteri. Sebagai tokoh agama ia diangkat seumur hidup. Dalam berbagai pernyataanya selama kunjungan ke sejumlah tempat di Indonesia, El Thayeb secara tegas telah menunjukkan sikap Islam moderatnya, sikap yang selama ini terus diperjuangkan oleh NU. Dengan adanya kesamaan tersebut, inilah saatnya untuk membangun sinergi dalam memperluas jejaring dan memperjuangkan Islam moderat di dunia.

Banyak aspek yang dapat dimanfaatkan dalam kunjungan ini. Mesir merupakan negara yang pertama kali mengakui kemerdekaan Indonesia, saat sejumlah negara lain bahkan “memberi boncengan” untuk mendorong Belanda menduduki Indonesia. Ini adalah peristiwa sejarah yang patut dikenang. Dukungan moral dari Mesir tersebut telah membantu menjaga semangat para Pendiri Bangsa untuk terus berjuang. Indonesia dan Mesir merupakan dua negara dengan penduduk Muslim terbesar di kawasannya masing-masing. Dinamika yang terjadi di kedua negara tersebut pasti akan mempengaruhi wilayah di sekitarnya. 

Al-Azhar memiliki catatan sejarah akan kualitas dan kemampuannya bertahan menghadapi berbagai tantangan zaman, dari perubahan dinasti, era kololisasi sampai perubahan rezim di Mesir. Al-Azhar tetap mampu bertahan dan melahirkan pada tokoh yang membawa pencerahan bagi dunia Islam. Banyak pemuka agama Islam di Indonesia yang belajar di sana. Di lingkungan NU sendiri, KH Abdurrahman Wahib atau Gus Dur pernah belajar di sana. Demikian pula KH Musthofa Bisri menyelesaikan pendidikannya di institusi tersebut. Secara langsung pendidikan di Azhar membawa pengaruh kepada NU melalui tokoh-tokoh NU yang dididik di sana. 

Di institusi tersebut, berbagai pemikiran dan aliran Islam dengan bebas dikaji. Dengan demikian, para mahasiswanya diajarkan untuk mengenal berbagai aliran dan pemikiran Islam. Jika pada akhirnya, dengan proses perenungannya menemukan sebuah pandangan yang dianggapnya lebih sesuai, maka itulah yang dipilih. Tetap terdapat proses penimbangan berbagai pandangan dan argumentasi yang menyertainya. Azhar tidak bersifat doktriner dalam pengajarannya. Model seperti inilah yang juga dilakukan di pesantren dengan membahas berbagai pandangan yang berbeda. Dari sinilah tradisi Islam moderat yang menghargai pandangan orang lain muncul. 

Sebagai sebuah institusi yang telah teruji kualitasnya, yang ditunjukkan oleh pengaruh besar dari para alumninya, tentu banyak hal yang bisa dipelajari dari Al-Azhar dan kemudian diterapkan pada pendidikan Islam di Indonesia. Saat ini ada ribuan mahasiswa Indonesia yang belajar di institusi tersebut. Tetapi akan lebih baik jika institusi pendidikan di Indonesia sendiri juga mampu menerapkan metode-metode atau tradisi kesuksesan tersebut sehingga semakin banyak umat Islam yang tercerahkan dengan pendidikan tinggi Islam yang moderat. 

Kondisi dunia Islam saat ini menghadapi tantangan akan radikalisme dan kekerasan yang telah menghancurkan peradaban yang sekian lama dibangun dan meruntuhkan nilai-nilai kemanusiaan. Mesir sendiri sedang bergulat dengan tantangan internalnya yang hingga kini belum menemukan ujung penyelesaian. 

Dengan sejumlah kesamaan antara Mesir dan Indonesia, serta Al-Azhar dengan NU sebagai pengusung Islam moderat, sudah sangat selayaknya jika momentum kunjungan tersebut dimanfaatkan untuk meningkatkan kerja sama lebih lanjut guna memperjuangkan nilai-nilai Islam moderat yang telah menjadi perhatian yang sama. Jika dua kekuatan besar ini bergabung, akan banyak hal yang bisa diselesaikan. Banyak sumberdaya yang telah dimiliki, tinggal bagaimana mengelola dan mensinergikan kedua potensi tersebut untuk kebaikan umat Islam. (Mukafi Niam)