Selama ini terdengar banyak klaim tentang jumlah anggota organisasi, masing-masing mengaku anggotanya puluhan juta, baik dari kaum nasionalis, kaum islam modernis, NU, kelompok abangan dan sebagainya, dan namanya klaim memang hanya berdasarkan asumsi, sebagian besar malah berdasarkan angan-angan, rekaan yang mengada ada. Sehingga kalau klaim itu dituruti, maka jumlah penduduk Indonesia bisa satu miliar.
NU selama ini mengklaim beranggotakan 30 juta, bahkan beberapa tahun belakangan ini asumsi tersebut dinaikkan menjadi 40 juta, sehingga diakui sebagai ormas Islam terbesar.
Ternyata asumsi atau bahkan klaim tersebut, tidak jauh dari kenyataan, sebab menurut beberapa survey yang dilakukan oleh LP3ES dan Lembaga Survey Indonesia (LSI) di antara para pemilih dalam pemilu 2004 ini 35 persennya mengaku sebagai warga NU. Sementara yang mengaku sebagai warga Muhammadiyah hanya 11 persen, sementara yang lain lebih kecil lagi.
<>Temuan itu sebenarnya tidak mengejutkan, karena sesuai dengan klaim yang selama ini beredar. Tetapi secara histories menarik, sebab NU bukan ormas Islam yang pertama kali lahir, SDI misalnya lahir sekitar 1909, lalau Muhammadiyah tahun 1912, sementara NU baru belakangan tanun 1926. Selain itu NU bukanlah organisasi yang rapi dan ketat, serba longgar, fleksible, tidak hanya dalam disiplin organisasi, tetapi juga dalam merespon perkembangan.
Dengan sikap itu NU dicap sebagai organisasi tradisional, konservatis, oportunis dan sebagainya, bukan sebagai organisasi yang modern, rasional dan berdisiplin tinggi dan cekatan dalam merespon perkembangan, sehingga memperoleh predikat sebagai organisasi yang ideal dan baik, yang diramalkan bakal awet dan bertahan lama, karena punya mekanisme pengkaderan yang baik dan memiliki program yang operasional.
Tetapi berbagai prediksi dan bahkan aksioma tersebut tidak terbukti di lapangan, banyak organisasi yang dikategorikan modern, seperti SDI yang kemudian Menjadi SI merupakan organisasi raksasa, tetapi mengalami degradasi habis-habisan. Bahkan banyak organisasi yang nyaris gulung tikar, bahkan hanya tinggal nama. Banyak pula organisasi yang diramalkan bakal berkembang tetapi melah mengalami stagnasi, tidak hanya secara organisasi, tetapi juga secara ide dan misi.
Sebaliknya NU sebuah organisasi yang dituduh tradisional, irasional yang diperkirakan akan segera pudar diterpa modernisasi, tetapi terbukti, semakin lama semakin berkembang karena menemukan relevansi, karena itu menjadi organisasi paling banyak diikuti masyarakat, demikian juga pendiriannya paling banyak dipegangi masyarakat, baik dalam bidang social maupun politik.
NU dengan demikian lebih merupakan organisasi ide, atau berkumpul berdasarkan kesamaan ide (jama’ah) ketimbang organisasi fisik (jami’iyah) yang diikat secara formal dalam struktur organisasi. Ide dan sikap NU paling khas adalah toleransi, tidak hanya kepada mazhab lain dalam Islam, melainkan terhadap agama dan kepercayaan lain termasuk adat istiadat. Sikap tersebut kemudian disalahpahami kelompok lain sebagai bentuk dari sinkretis yang musyrik, sehingga NU dianggap sebagai setengah Islam.
Ketika terjadi revolusi kebudayaan yang digerakkan oleh filsafat post modenisme, yang menjunjung tinggi toleransi, tiba-tiba sikap NU yang dicaci maki, tiba-tiba menemukan relevansi, sehingga menjadi trend kebudayaan dewasa ini, di mana semua ekpresi kebudayaan dan keagamaan termasuk ideology mendapatkan apresiasi yang sama tanpa diskriminasi, lalau muncul terminology, pluralisme, multikulturalisme, toleransi dan sebagainya.
Ketika kecenderungan baru tersebut muncul, NU telah lama mempraktekkan tidak hanya dalam pemikiran tetapi juga dalam sikap. Maka sangat lucu ketika mulai banyak organisasi yang selama ini sangat puritan , tiba-tiba ikut tertarik dengan mode ini, baik karena lagi trendi, lagi menjadi tema proposal yang laku, maka muncul kaum pluralis baru, yang bergairah dengan ide pluralisme, tetapi sayangnya pluralisme hanya sebagai ide, yang tidak terekpresi ke dalam sikap, sehingga akan menjadi pluralisme musiman.
Sementara NU selalu konsisten dengan sikapnya, sikap itu tidak hanaya berdasarkan doktrin kitab kuning, tetapi juga berdasarkan pengalaman empiris dalam bermasyarakat, karena itu NU selalu bersikap fleksible, toleran dalam menghadapi persoalan, sikap sikap itu yang menjadikan NU selalu relevan, karena NU berpikir dan bertindak tidak hanya berdasarkan doktrin, tetapi juga berdasarkan pertimbangan sejarah dan pengalaman empirik.
Hanya persoalannya sekarang bagaimana NU bisa mempertahankan tradisi itu, bahkan kalau perlu bisa mengembangkan menjadi sebuah gerakan yang lebih solid dan dinamis, sehingga kekuatan yanag dimiliki tidak hanya berkembang secara alami, tetapi bisa diatur dan direncanakana arah perkembangannya, sehingga kekuatan yang ada bisa didayaagunakan sebagai kemajuan warga NU dan warga negaara Indonesia secara keseluruhan. [MDZ]
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Jagalah Shalat, Maka Allah Akan Menjagamu
2
Ini Amalan Jumat Terakhir Bulan Rajab, Bisa Jaga Keberkahan Rezeki Sepanjang Tahun
3
Khutbah Jumat: Mengenal Baitul Ma’mur dan Hikmah Terbesar Isra’ dan Mi’raj
4
Paduan Suara Yayasan Pendidikan Almaarif Singosari Malang Meriahkan Kongres Pendidikan NU 2025
5
7 Penerima Penghargaan Pesantren dalam Malam Anugerah Pendidikan NU
6
Kongres Pendidikan NU 2025 Akan Dihadiri 5 Menteri, Ada Anugerah Pendidikan NU
Terkini
Lihat Semua