Risalah Redaksi

Pudarnya Peran Masjid

Jumat, 13 Januari 2006 | 12:46 WIB

Perayaan hari raya Idul Adha yang baru lalu nampak sepi. Seperti halnya tahun baru 2006 yang dirayakan seadanya, Idul Adha tahun ini juga tidak diwarnai dengan kemewahan, terbukti dengan dengan tidak banyaknya hewan yang dijadikan kurban. Krisis ekonomi paska kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) dijadikan alasan oleh masyarakat untuk memperketat pengeluaran keuangan, termasuk untuk korban. Masjid Istiqlal di Jakarta, sebagai masjid kebanggaan umat Islam Indonesia hanya menerima beberapa belas ekor sapi. Hal serupa dialami panitia kurban Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) yang menerima lebih sedikit lagi. Padahal para pejabat dan hartawan banyak yang solat Ied di kedua tempat tersebut.

Muncul pertanyaan, apakah fenomena tersebut berarti semangat umat Islam dalam mengikuti sunah nabi Ibrahim untuk berkorban itu sudah menurun. Ternyata tidak. Di tengah sepinya kurban di beberapa masjid dan lembaga keagamaan muncul keramaian luar biasa. Dompet Dzuafa yang bekerjasama dengan sebuah stasiun televisi berhasil mengumpulkan kurang lebih 10 ribu ekor kambing dan 2 ratus ekor sapi, dengan dana sebesar 7,5 miliar rupiah. Jumlah tersebut tentu capaian yang luar biasa di tengah krisis ekonomi yang dialami masyarakat.

<>

Persoalannya kemudian mengapa lembaga keagamaan semacam masjid atau organisasi sosial keagamaan kalah berpengaruh dibanding media massa seperti koran dan televisi—sebuah lembaga modern yang sekuler. Apakah di sini hanya persoalan kalah membangun opini publik, promosi atau publikasi. Ataukah saat ini terjadi krisis kepercayaan terhadap lembaga keagamaan sehingga untuk menjalankan ritus keagamaan saja orang enggan menggunakan instrumen agama.

Saat ini dunia bisnis dan kapitalisme pada umumnya lebih antusias menyambut hari besar keagamaan. Dalam menyambut kehadiran bulan Ramadhan misalnya, ketika para agamawan masih sibuk melakukan ibadah puasa Rajab, ‘ruwahan’ atau Nisfu Sya’ban. Tetapi para kapitalis, sudah lebih dulu melangkah, seolah tidak sedetikpun mau ketinggalan dalam menyambut bulan puasa tersebut sebagai ‘bulan dagang’ dan saatnya meraup keuntungan. Sementara kegairahan kalangan agamawan dalam meraih keuntungan surgawi tidak sesemarak para kapitalis mengeruk keuntungan duniawi.

Kita belum tahu pasti apakah fenomena sepinya orang berkorban hewan di masjid yang kemudian beralih ke media massa itu sebuah pergeseran nilai keagamaan, sehingga cara promosi seperti dunia bisnis lebih mempan dan lebih diutamakan ketimbang cara-cara memotivasi secara spiritual—sebagaimana yang dikhutbahkan di masjid-masjid dan sebagainya. Atau ini merupakan fenomena baru yang berkembang di kalangan umat yang haus publisitas atas amal yang telah dikerjakan atau sekedar ikhtiar mereka untuk menuntut transparansi.

Lepas dari siapa penyelenggara, maka sistem pengawasan perlu dilakukan agar hewan yang dikorbankan benar-benar sampai sasaran. Hanya dengan demikian kurban menjadi absah menurut agama dan bermakna bagi masyarakat. Sebab sering kali terjadi korban hanya untuk pesta di lingkungan kaum kaya, sementara kelompok miskin tidak mendapat jatah. Atau bisa juga terjadi korban yang juga banyak dalam bentuk uang itu tidak dibelikan binatang, tetapi di-tasaruf-kan untuk yang lain.

Semua itu perlu dikontrol agar korban sebagai salah satu bentuk ibadah yang disunahkan itu benar-benar bernilai ibadah, justru ketika peduli dengan persoalan kemanusiaan. Korban di sini sebagai sebuah bentuk keprihatinan dan sebagai manifestasi munculnya solidaritas antarsesama manusia, terutama terhadap mereka yang menderita dan kekurangan. Tujuan itu yang hendak dicapai lewat sarana ibadah dalam bentuk korban ini. (Munim Dz)