Bulan suci Ramadhan, bulan yang penuh keutamaan bagi umat Islam kembali datang. Suasana kehidupan mulai berubah. Umat Islam tampak lebih religius dengan terjadinya peningkatan kuantitas atau kualitas ibadahnya. Masjid kembali penuh oleh jamaah yang menunaikan shalat Tarawih, pengajian dan buka bersama digelar di mana-mana, di rumah pribadi maupun di berbagai institusi. Yatim piatu dan fakir miskin pun mendapat berkah seiring dengan meningkatnya kesadaran orang kaya untuk beramal. Tadarus pun menggema dari berbagai loud speaker yang ada di masjid dan mushalla, yang kadang kala karena terlalu bersemangatnya, mengganggu orang yang sedang istirahat.
Pendek kata, pada Ramadhan, Muslim diingatkan kembali akan pentingnya nilai-nilai keagamaan yang sebelumnya kurang mendapat perhatian karena disibukkan dengan berbagai urusan dunia yang tak ada habis-habisnya. Segala sesuatu perlu jeda, termasuk dalam beribadah. Jeda dalam bentuk harian yang terbagi dalam lima waktu dalam bentuk perintah melaksanakan shalat. Jeda mingguan, dalam bentuk pelaksanaan ibadah shalat Jum’at, dan ada jeda bulanan dalam bentuk pelaksanaan puasa Ramadhan.
Jeda dari suatu rutiitas sangat perlu untuk mengambil jarak, untuk melakukan evaluasi diri. Tanpa evaluasi diri, tak akan ada perbaikan karena kita tak tahu apa yang kesalahan atau kekurangan yang kita jalani.
Di luar meningkatnya gairah kembali kepada ajaran-ajaran agama, ternyata, pelaksanaan ibadah puasa Ramadhan sendiri perlu mendapat banyak evaluasi. Dengan alasan puasa, produktifitas karyawan menurun. Masjid dan mushalla dipenuhi dengan para karyawan yang tidur-tiduran karena merasa lapar dan lesu akibat puasa. Berbagai program dan pekerjaan ditunda setelah lebaran karena para karyawan sudah berpikir untuk pulang kampung atau berlibur pada masa lebaran. Kemudahan hidup dan banyaknya hiburan kini menjadi tantangan tersendiri. Waktu senggang kini bukannya digunakan untuk beribadah, tetapi dihabiskan untuk menonton TV, bermain game, atau sibuk mengobrol di media sosial.
Hikmah dari puasa diharapkan untuk ikut merasakan rasa lapar dari orang yang tidak mampu. Dengan demikian, dapat meningkatkan empati kepada mereka. Tetapi terdapat pertanyaan akan efektifitasnya. Dengan alasan telah menahan lapar selama berpuasa, kita selalu mengkonsumsi makanan jauh lebih banyak saat berbuka puasa dan dalam menu yang lebih mewah. Dari tahun ke tahun, harga daging, ayam, dan kebutuhan sembako lain selalu meningkat menjelang dan selama Ramadhan karena peningkatan permintaan. Padahal jika mengingat hikmah puasa untuk menahan diri, seharusnya berbagai konsumsi yang berlebihan tersebut kita kurangi.
Lalu, kita juga disibukkan dengan membeli pernik-pernik lebaran seperti baju, kue, dan segala macam barang untuk menyambut Lebaran. Dari tahun ke tahun, kita tampaknya telah disibukkan hal-hal yang bukan prinsip dan tujuan utama Ramadhan. Bulan puasa sekedar menjadi rutinitas dan rehat sejenak, yang kemudian dirayakan dan dibesar-besarkan oleh para produsen untuk memanfaatkan moment puasa dan lebaran untuk menggenjot penjualan. Merekalah sesungguhnya yang paling diuntungkan. (Mukafi Niam)