Risalah Redaksi

Setelah Lebaran Usai, Lalu Apa Selanjutnya?

Selasa, 12 Juli 2016 | 08:45 WIB

Puasa Ramadhan berakhir dengan masuknya 1 Syawal yang merupakan peringatan Idul Fitri, hari raya yang diperingati sangat meriah di Indonesia. Seluruh konsentrasi publik terfokus pada acara tersebut. Baju baru harus dibeli, rumah perlu ditata ulang atau dirapikan untuk menyambut tamu. Berbagai macam hidangan juga harus disiapkan. Tentu itu semua ada ongkosnya, beruntung ada tunjangan hari raya (THR) bagi karyawan. Pemerintah dengan segala daya upayanya berusaha agar perayaan tersebut berjalan dengan lancar, tanpa kurang satu apapun karena jika gagal akan menghadapi kritik pedas dari publik. Begitulah perhatian dari masyarakat dalam menyambut Idul Fitri. 

Kini Lebaran yang jatuh pada 6 Juni 2016 telah berlalu. Yang mudik ke kampung halamannya sudah mulai kembali ke rumahnya masing-masing. Ada kebahagiaan bisa bertemu orang tua dan sanak famili, tapi rasa capek karena perjalanan jauh tampaknya belum juga hilang, ongkos yang melebihi anggaran juga menjadi perhatian, badan yang melar karena kebanyakan mengkonsumsi makanan berlemak juga menjadi ingatan, dan masih ada sejumlah persoalan lain yang belum terselesaikan. Belum sempat istirahat kembali, kini kita harus mempersiapkan diri untuk kembali menjalani rutinitas sebagaimana biasanya untuk sebelas bulan ke depan. 

Dalam prinsip manajemen waktu, rehat dari sebuah aktfitas sangat penting sebagai sarana untuk melakukan evaluasi. Rutinitas yang terus-menerus menyebabkan kita bisa kehilangan perspektif yang lebih besar sehingga kita rentan terjebak semakin dalam pada persoalan yang sama. Karena terjebak rutinitas, kita tidak menyadari bahwa dunia luar sudah berubah atau kita baru tersadar bahwa kita ternyata telah menghabiskan banyak waktu untuk aktifitas tersebut dengan tingkat produktifitas yang rendah, sementara usia sudah semakin menua, padahal setiap harinya sudah disibukkan dengan berbagai tenggat yang tak ada habisnya.

Dari perspektif itu, Lebaran merupakan rehat nasional karena hampir semua orang keluar dari rutinitas yang tiada habisnya tersebut. Lebaran menjadi sarana untuk refleksi, sebagaimana peringatan tahun baru, Masehi atau Hijriah, 17 Agustus, dan lainnya.

Toh, dengan sedemikian banyak momen untuk berefleksi, kita tetap saja tidak banyak berubah. Berefleksi bahkan juga sudah menjadi sebuah rutinitas tersendiri. Resolusi yang kita bikin segera saja terlupakan seminggu atau dua minggu kemudian. Kita, sebagai sebuah bangsa memang melakukan perbaikan, tapi kecepatan perbaikan tersebut tidak terjadi sebagaimana bangsa lain berubah. Berbagai indeks dalam bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, dan lainnya yang dirilis oleh lembaga-lembaga internasional setiap tahunnya menunjukkan bahwa kita berada dalam posisi medioker. Kita memang bukan yang terburuk, tetapi kita juga belum mampu menunjukkan prestasi gemilang di hadapan bangsa lain. Jika dilihat dari potensi yang kita miliki, seperti melimpahnya sumberdaya alam, jumlah penduduk yang besar, posisi geografis yang strategis, dan banyak faktor pendukung lainnya, seharusnya kita bisa mencapai prestasi jauh lebih baik daripada yang kita capai saat ini. Kita memang pandai dalam membuat rencana, tetapi lemah dalam implementasi dan evaluasi.  

Agama mengajarkan, jika hari ini sama dengan kemarin, maka kita termasuk golongan yang merugi, bahkan jika hari ini kita lebih dari kemarin, maka kita termasuk golongan yang celaka. Kebutuhan  untuk berinovasi dan melakukan perbaikan-perbaikan dengan sungguh-sungguh semakin mendesak karena bangsa lain juga melakukan yang sama. Kalau tidak, kita akan menjadi pencundang. Dengan menyadari adanya keterdesakan bahwa orang lain, bangsa lain atau umat dari agama lain sudah bertindak lebih baik, hal ini akan memacu kita untuk bertindak lebih baik pula. Semoga pencapaian untuk setahun ke depan, kita jauh lebih baik daripada setahun sebelumnya. (Mukafi Niam)