Risalah Redaksi

Urusan NU Tak Hanya soal Toleransi dan Pluralisme

Sabtu, 30 Juli 2016 | 09:25 WIB

Salah satu sisi kuat yang dikenal oleh masyarakat luas tentang NU adalah sikap toleransi dan moderatnya. Hidup dalam alam keragaman, kedua sifat tersebut menjadi salah satu sokoguru penting yang menjaga kekokohan bangunan Indonesia. Bahkan, Indonesia kini dikenal sebagai negeri Muslim yang menjadi rujukan soal toleransi di tengah maraknya radikalisme di berbagai kawasan Muslim. Tentu saja, ini tak lepas dari peran NU mendakwahkan ajaran yang menghargai keyakian orang lain.

Di samping peran besar dalam menjaga keutuhan negara, ada sejumlah masalah yang dihadapi oleh NU, salah satunya adalah kesejahteraan warga NU. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), kemiskinan terbesar di Indonesia berada di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Dari situ kita dapat mengambil kesimpulan bahwa masih banyak warga NU yang hidup di bawah garis kemiskinan atau rentan miskin. Inilah tanggung jawab besar yang harus diemban yang harus dilaksanakan, apalagi Muktamar ke-33 NU di Jombang juga mengamanatkan tiga hal paling penting, yaitu bidang ekonomi, pendidikan, dan kesehatan. 

Rapat Pleno PBNU yang berlangsung di Pesantren Khas Kempek Cirebon, 23-25 Juli 2016 menjadikan masalah ekonomi sebagai tema utama pembahasan. Pertemuan tersebut, selain melakukan evaluasi kerja lembaga dan badan otonom NU, juga menghadirkan pakar ekonomi dan pengusaha untuk memberi masukan dalam upaya pemberdayaan ekonomi di lingkungan NU. Tak ketinggalan, para pengusaha NU yang tergabung dengan Himpunan Pengusaha NU (HPN) juga menggelar pertemuan tersendiri sebagai ajang konsolidasi di antara mereka. 

Banyak faktor yang menjadi penyebab kemiskinan warga NU. Kebijakan pemerintah yang tidak pro pada sektor pertanian menjadi salah satu faktor penting mengingat sebagian besar warga NU tinggal di pedesaan dan mengandalkan pertanian sebagai profesi. Akses terharap permodalan yang susah juga faktor krusial lainnya. Tentu saja susah memiliki usaha yang bisa tumbuh besar jika kesulitan mengakses modal untuk pengembangannya. Kelompok lain, dengan berbagai cara, bisa mengakses modal hampir tak terbatas, bahkan tanpa perlu menyediakan jaminan. Ini merupakan bentuk politik ekonomi dan penguasaan akses terhadap sumber-sumber ekonomi yang tidak dimiliki warga NU. Bisa juga karena ada patgulipat sebagaimana yang dilakukan Edy Tansil yang mengemplang uang milik bank. Akses pasar yang susah sampai dengan keterbatasan pengetahuan dan keterampilan menjadikan pengembangan usaha persoalan yang rumit bagi banyak warga NU. 

Hambatan-hambatan tersebut di atas dibahas dan dicarikan solusi dalam rapat pleno tersebut. Tentu, setelah serangkaian usulan program, implementasi merupakan hal yang paling penting. Tiada keberhasilan jika hanya sekedar rencana di atas kertas, tetapi perlu aksi nyata yang dapat dirasakan langsung oleh warga NU. Juga tidak ada jalan yang instan guna menyelesaikan berbagai hambatan tersebut.

Urusan ekonomi juga harus diserahkan kepada para ahlinya. Tentu berlebihan jika kita menuntut para kiai atau ulama yang sehari-hari bergelut dengan kitab kuning dan santri untuk bergerak dalam bidang ini dan mampu berkiprah sebagaimana para ahli ekonomi dan pengusaha. Di lingkungan NU banyak yang ahli ekonomi atau pengusaha, tinggal bagaimana mereka mengajak mereka untuk mewakafkan ilmu, waktu, ataupun harta mereka buat NU. Perlu sinergi yang baik di antara para pemangku kepentingan di lingkungan NU. Dalam rencana reposisi dan evaluasi kepengurusan NU yang juga disampaikan pada pertemuan tersebut, sudah selayaknya jika figur-figur yang memiliki kompetensi dalam bidang ekonomi dan kewirausahaan dimasukkan dalam jajaran kepengurusan PBNU. Para entrepreneur di lingkungan NU perlu memberi warna dalam langkah dan gerak NU, tak hanya para aktivis atau kiai yang selama ini mendominasi kepengurusan. Dengan bersatunya berbagai kekuatan, tentu kebesaran NU akan semakin nyata. (Mukafi Niam)