Warta

Dalam Ultah yang ke-79 Hari Ini, NU Dituntut Merefleksikan Tujuan Sosial dan Keagamaannya

Rabu, 26 Januari 2005 | 07:02 WIB

Jakarta, NU Online
Hari ini, 26 Januari 2005,  Nahdlatul Ulama (NU) Genap berusia 79 tahun. Para Ulama yang mendirikan NU pada 26 Januari  1926 di Surabaya menetapkan gerakan sosial dan keagamaan sebagai tujuannya. Karena itu, dalam momentum Ulang Tahun (Ultah) hari ini, NU seharusnya merefleksikan kembali tugas sosial keagamaannya.  Komitmen ini penting untuk memperjuangkan kesejahteraan jam'iyah (warga NU) dan menjadikan jam'iyah sebagai imam bagi jama'ah dalam bidang agama.

Dengan demikian, komitmen yang disertai pelaksanaan akan menguatkan makna keberadaan jam'iyah bagi jama'ahnya. 

<>

Demikian kesimpulan dari wawancara NU Online dengan Pemerhati Masalah Ke-NU-an Enceng Shobirin Nadj di Jakarta, Rabu (26/1). 

Menurut peneliti yang akrab dipanggil dengan Enceng ini, merefleksikan komitmen sosial keagamaan sangat penting artinya mengingat dalam usianya yang ke-79, NU termasuk organisasi yang sudah sangat tua. Ia menambahkan, bahwa kecenderungan organisasi yang sudah berusia tua itu akan memasuki siklus penurunan  dalam meneguhkan komitmen perjuangannya.

Namun demikian, kecenderungan tersebut menurut Enceng tidak mutlak akan terjadi terhadap NU. Asalkan, katanya, pengurus NU harus memiliki kesadaran kuat terhadap tujuan sosial dan keagamaan yang diemban jam'iyah.

Namun Enceng mengaku, membangkitkan kesadaran seperti itu bukan hal yang mudah, sebab banyak permasalahan yang kemudian menghambatnya. "Permasalahannya, dalam beberapa tahun terakhir, NU menghadapi berbagai cobaan yang menggoda para pengurusnya untuk mengejar kepentingan-kepentingan yang lebih sempit, yang seringkali tidak memiliki kaitan dengan tujuan NU dalam memperjuangkan peningkatan kesejahteraan. Padahal, sudah seharusnya menjadi kesadaran di kalangan pengurus NU, para ulama dan seluruh warga NU, bahwa NU itu harus menarik garis yang sama terhadap semua kekuatan sosial dan politik,"ungkap pengamat yang saat ini menjabat wakil direktur bidang penelitian LP3ES ini.

Untuk menghindari godaan-godaan duniawi itu, Enceng menegaskan, bahwa dalam momentum Ultah ke-79 ini, Khittah NU harus diberi makna lebih konret. "Ini bukan berarti NU tidak boleh terlibat dalam urusan-urusan kenegaraan. Keterlibatan NU diperbolehkan asalkan hanya  ditekankan dalam "Politik Keummatan"," tandas Enceng terhadap pentingnya memperjuangkan kesejahteraan atau kemaslahatan jama'ah

Apa yang disampaikan Enceng mengingatkan kita pada Khutbah Iftitah (sambutan pembukaan) Rais Aam KH M.A Sahal Mahfudz dalam Muktamar NU ke- 31 di Solo akhir tahun lalu, bahwa godaan-godaan dari faktor eksternal betapapun besarnya akan  bisa dinetralisir oleh fungsionaris NU, asalkan Khittah NU 1926 yang menekankan perjuangan sosial keagamaan dipegang teguh.

"Masalahnya, keterlibatan warga NU, baik sengaja atau tidak- dalam politik praktis, tidak disertai oleh sikap kenegarawanan, penguasaan yang memadai terhadap seluk-beluk politik, dan tidak begitu peduli terhadap garis-garis seperti Pedoman Berpolitik yang diputuskan Muktamar XXVIII di Yogyakarta. Namun lebih mengandalkan pada dukungan NU dan lebih parah lagi tanpa memperhatikan Khitthah NU dan kepentingan NU sendiri. Akhirnya keterlibatan itu lebih banyak hanya menghabiskan energi dan seringkali secara psikologis menyebabkan kerenggangan di antara sesama warga. Sementara khidmah-khidmah lain yang sangat diperlukan umat dan masyarakat banyak yang terbengkelai," tulis KH Sahal Mahfudz dalam Khutbah Iftitahnya.

Dalam refleksi Ultah hari ini, Menurut Enceng konsep jam'iyah dan jama'ah perlu ditingkatkan pemahaman maknanya. Jama'ah bukan pada tempatnya lagi hanya sebagai alat legitimasi, melainkan kesetaraan struktur yang saling menguatkan. 

Lebih lanjut, diungkapkan Enceng, bahwa harus diakui dalam rangka menegakkan komitmen sosial keagamaan, ketiadaan struktur relasi antara  jam'iyah NU dengan jama'ahnya memang sangat disayangkan. "Ketiadaan relasi struktural atau mekanisme kontrol formal dari jama'ah kepada jam'iyah telah mengakibatkan pengurus NU menjadi elitis," tegasnya.

Sebagai jalan keluarnya, kata Enceng,  jama'ah NU memang tidak bisa menuntut fungsionarisnya secara langsung, tetapi  dengan jam'iyah memperjuangkan jama'ahnya, maka kehadiran jam'iyah akan betul-betul dirasakan manfaatnya oleh jama'ah.

"Karena itu, sudah menjadi tuntutan imperatif dalam diri pengurus NU,  dari mulai PBNU hingga ranting untuk memiliki kesadaran akan tanggungjawab untuk memperjuangkan kesejahteraan warga NU," kata Enceng menyarankan.