Warta

Fatwa MUI Diminta Dicabut

Selasa, 2 Agustus 2005 | 00:33 WIB

Jakarta, NU Online
Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Masdar Farid Mas'udi mengimbau Majelis Ulama Indonesia (MUI) mencabut fatwanya, khususnya yang berkaitan dengan masalah pluralisme, sekularisme dan liberalisme, karena dikhawatirkan dapat memicu meluasnya kekerasan yang mengatasnamakan agama.

Fatwa MUI yang mengharamkan masalah pluralisme, sekularisme dan liberalisme itu dengan definisi, liberalisme adalah pemikiran Islam yang menggunakan pikiran manusia secara bebas, bukan pemikiran yang dilandaskan agama. Sedangkan sekularisme adalah paham yang menganggap agama hanya mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhan. Sementara, hubungan antara manusia dengan manusia tak bisa diatur agama.

<>

Sedangkan pluralisme diharamkan karena menganut paham semua agama adalah sama dan bahwa agama bersifat relatif dan tidak ada yang boleh mengklaim agamanya adalah agama yang paling benar.

"Dengan tidak mengurangi keinginan menghormati MUI kami menghimbau kiranya fatwa lembaga ini, khususnya yang berkaitan dengan pandangan pluralisme, sekularisme dan liberalisme dapat ditarik dahulu untuk dipikirkan kembali dengan kearifan dan kedalaman ilmiah sesuai dengan karakter sejati keulamaan," katanya di Jakarta, Senin.
   
Ketua Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) itu khawatir fatwa MUI tersebut akan mengakibatkan semakin meluasnya kekerasan atas nama agama. Bagi kelompok yang selama ini kerap melakukan aksi kekerasan, fatwa tersebut dapat dijadikan sebagai pembenaran atas tindakan mereka. "Mengeluarkan fatwa seperti itu sungguh-sungguh berisiko. Sangat dikhawatirkan itu akan dipakai oleh orang-orang yang sudah ketagihan dengan kekerasan untuk menjustifikasi tindakan mereka. Jika ini terjadi, sulit dihindari bahwa MUI telah menjadi inspirator tindakan-tindakan kekerasan itu," katanya.
   
Dikatakannya, fatwa soal pluralisme, sekularisme dan liberalisme tidak dapat dijadikan landasan bagi aparat penegak hukum untuk mengambil tindakan kekerasan atas nama agama, karena pada prinsipnya negara adalah lembaga publik yang harus memerankan fungsi sebagai pelindung bagi semua orang.

"Jika memang MUI merasa berwenang dan bersikeras memfatwakan, kami kira itu terserah. Akan tetapi hal itu sama sekali tidak bisa dijadikan acuan oleh aparat penegak hukum untuk mengambil tindakan kekerasan atas nama agama, karena satu prinsip negara adalah lembaga publik milik orang banyak," katanya.
   
Menurut Masdar, fatwa merupakan aplikasi norma fikih yang diperuntukan bagi hal-hal yang bersifat tindakan atau perbuatan obyektif seperti masalah perjudian, korupsi, suap dan politik uang. Fatwa yang ditujukan terhadap hal-hal yang bersifat pemikiran atau pandangan hidup terasa melampaui batas dan tidak lazim.
   
Lebih lanjut Masdar menambahkan, kegiatan penetapan hukum sebagai tahap pengambilan kesimpulan tidak bisa diputuskan secara mendadak, tapi harus melalui suatu tahap yang disebut tashawwur atau rekonstruksi dan definisi masalah. "Jika kita mau menjatuhkan hukum atas suatu masalah maka harus jelas perkara itu sebagaimana adanya, bukan bagaimana yang saya mau atau saya khayalkan sendiri. Tashawwur inilah yang akan menentukan mutu dari hukum yang disimpulkan," katanya.
   
Ditambahkannya, fatwa MUI soal liberalisme, pluralisme dan sekularisme jelas tidak melalui proses tashawwur secara obyektif. Pembahasan MUI terkait masalah tersebut hanya dilakukan secara singkat dan berdasar imajinasi mereka yang sejak semula sudah dibimbing oleh prasangka dan curiga. "Dengan kata lain fatwa seperti itu tidak memenuhi syarat dan bahkan cenderung, maaf, gegabah," kata salah satu pemikir Islam Indonesia itu.
  
Ditanya tentang adanya kader NU yang berada di MUI, Masdar mengakui hal itu namun menurut dia para kader NU di MUI tidak mempunyai hubungan secara formal atau organisasatoris dengan NU. "Secara formal-organisatoris NU tidak terkait dan tidak bisa diikat oleh fatwa MUI," tandasnya.

Sebelumnya, beberapa cendekiawan lintas agama yang dimotori Gus Dur, Djohan Effendy, Dawam Rahardjo, Djati Kusuma (penghayat Keyakinan), Pdt Winata Sahirin (GKJ), Romo Edi (KWI), Lamardi (perwakilan Ahmadiyah), Anand Khrisna, Syafi'i Anwar, Ulil Abshar Abdalla di PBNU Jumat (30/7/2005) menyatakan hal yang sama. Menurut mereka fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), yang mengharamkan ajaran Ahmadiyah, pluralisme, sekularisme, dan liberalisme Islam dianggap sebagai ancaman terhadap toleransi antar agama di Indonesia.

Mereka yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Madani untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan, dengan tegas meminta kepada MUI untuk mencabut fatwa-fatwa yang dapat memecah belah kerukunan antar umat beragama. (cih)