Warta

Guru Madrasah Lebih Tahan Banting dari PNS

Rabu, 17 Agustus 2005 | 03:18 WIB

Surabaya, NU Online
Ketua PWNU Jatim, Drs KH Ali Maschan Moesa, MSi menilai, semangat dan perjuangan para guru swasta di sekolah agama (madrasah) lebih tahan banting dibandingkan dengan guru yang berstatus PNS (pegawai negeri sipil).

"Dulu, saat saya masih mengajar di Sidoarjo, guru di madrasah digaji Rp75.000 tiap bulan, bahkan ada yang Rp25.000, tapi mereka masih bertahan," katanya dalam diskusi "Keterpurukan Guru" di toko buku Togas Mas Surabaya, Selasa.

<>

Meskipun demikian, katanya, sangat jarang ada madrasah yang gulung tikar, padahal dikelola dengan kondisi yang serba terbatas, sementara di saat bersamaan banyak SD negeri yang tutup karena banyak hal.

"Itu terjadi karena guru swasta di madrasah itu memiliki ideologi kuat bahwa mengajar adalah bagian dari ibadah. Jadi, ideologi di dalam diri guru swasta itu luar biasa," kata dosen Fakultas Adab, IAIN Sunan Ampel itu.

Petinggi NU yang kini menyelesaikan S3 di Unair Surabaya itu mengemukakan, secara umum, kondisi kesejahteraan guru itu sangat rendah, bahkan hal itu juga dialami oleh guru di perguruan tinggi (dosen).

"Untungnya, dosen seperti saya ini bisa nyambi dengan menjadi DPR, tapi bukan anggota dewan. DPR itu adalah dinas pengajian rutin," katanya.

Untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia, katanya, harus dimulai dari guru, yakni menyangkut perbaikan kesejahteraannya. Tanpa memperhatikan hal itu, maka tidak mungkin guru akan bekerja secara optimal.

"Menurut saya, upaya pemerintah untuk memperbaiki pendidikan di Indonesia masih ’lips service’. Dana pendidikan yang disebutkan minimal 20 persen, paling banter hanya delapan persen," ujarnya.

Saat ini, katanya, pemerintah hanya memperhatikan tiga masalah, yakni ekonomi, konflik dan kriminal, baik dalam skala kecil maupun besar, sedangkan masalah pendidikan masih kurang.

Sementara itu, pengamat pendidikan, Dr Anita Lie yang juga Sekjen Dewan Pendidikan Jatim mengimbau para guru untuk tidak hanya meratapi nasib, melainkan harus berupaya untuk terus mengembangkan kebanggaannya sebagai seorang pendidik.

"Kita tidak boleh melihat sisi kurang baiknya terus. Mari kita perbaiki diri, tidak bisa kita menuntut terus tanpa mengembangkan kompetensi kita. Kita juga perlu mengembangkan kebanggaan sebagai guru," katanya.

Ia mengemukakan, sebenarnya dari segi martabat, keberadaan guru masih mendapat penghargaan tinggi di daerah, meskipun di perkotaan mengalami degradasi.

"Di daerah itu, guru disetarakan dengan tokoh agama, seperti di NTT atau NTB. Di sana guru sama dengan pastor dan ulama kalau di Islam," katanya.

Ia mengemukakan, saat ini guru masih menjadi tumbal dari pemerintah maupun swasta. Dari sisi pemerintah, guru hanya disuguhi sebuah hymne bahwa guru adalah "pahlawan tanpa jasa".

"Sementara dari swasta, guru hanya diberi semacam opium agar terlelan bahwa guru adalah pekerjaan mulia, sementara yayasan mengambil keuntungan dari praktek pendidikan yang dikelola. Ini ’kan namanya tumbal," katanya.(ant/mkf)