Warta

Gus Dur dan Daisaku sebagai Simbol Peradaban

Selasa, 19 April 2011 | 08:44 WIB

Jakarta, NU Online
Direktur Eksekutif The Wahid Institute Ahmad Suaedy berpendapat satu dialog penting tentang peradaban dan keagamaan menjadi tema utama dalam buku KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan Daisaku Ikeda yang bertajuk ‘Dialog Peradaban untuk Toleransi dan Perdamaian’ yang diselenggarakan oleh Lajnah Ta'lif wan Nasyr PBNU, Sokka Gakai Indonesia, Wahid Institute, dan Penerbit Gramedia.

Di dalam buku itu juga terdapat ajaran-ajaran mendasar keagamaan, namun sebagai tokoh sentralnya adalah tokoh besar Indonesia dan Jepang yaitu Gus Dur dan Daisaku. Dalam buku setebal 309 halaman ini menguraikan titik tolak dan jantung pesan setiap agama: yaitu perdamaian.<>

“Kedua tokoh dunia itu hendak mengajak setiap agama dan keyakinan untuk bekerjasama menuju satu tujuan yaitu berupa perdamaian," kata Ahmad Suaedy di Jakarta, Selasa (19/4).

Bedah buku dan dialog Peradaban untuk Toleransi dan Perdamaian ini berlangsung di Gedung PBNU dengan pembicara Ketua Umum PBNU KH Said Agil Siradj, puteri Gus Dur Zannuba Arifah Chafsoh atau Yenny Wahid, Ketua Umum Soka Gakkai Indonesia, Peter Nurhan, Mudji Soetrisno dan Wakil Sekjen PBNU Mun'im DZ.

Buku ini terdiri dari tujuh bab: Perdamaian Merupakan Misi Agama, Persahabatan sebagai Jembatan Dunia, Perjuangan dan Pencarian di Masa Remaja, Tantangan Menuju Abad Hak Azasi manusia, Persahabatan Antarbudaya sebagai Sumber Kreativitas, Belajar Toleransi dari Sejarah Islam dan Buddha, Pendidikan Pilar Emas Masa Depan, dan Membuka Zaman Baru.

Kata sambutan dari 4 tokoh: Jusuf Kalla, Menteri Pendidikan Mohammad Nuh, Gumilar Rusliwa Somantri, dan Ketua Umum PBNU KH. Said Aqil Siradj. Di tengah tren intoleransi di Indonesia sebagai negara muslim moderat terbesar dunia, maka dialog-dialog soal nilai toleransi dan perdamaian mutlak diperlukan dan perlu terus dilakukan.

Mengapa? Kasus bom bunuh diri di Masjid Adz-Dzikra Kompleks Mapolresta Cirebon, Jawa Barat, baru-baru ini setelah sebelumnya bom buku, adalah contoh paling ekstrem dalam memandang keagamaan si pelaku dan ketidakrelaan menerima perbedaan dan karena itu harus dilakukan diaog secara terus menerus, tanpa putus asa.(amf)