Warta

Halaqah Dakwah LDNU Berlangsung Meriah

Rabu, 21 Desember 2005 | 14:33 WIB

Jakarta, NU Online

Seperti diperkirakan semula, Halaqah Dakwah yang diselenggarakan oleh Pimpinan Pusat Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (PP LDNU) di kantor PBNU, Jl. Kramat Raya Jakarta Pusat, Rabu (21/12) berlangsung meriah. Setidaknya, 250 orang hadir dalam pertemuan yang membahas soal jihad dan terorisme tersebut.

<>

Hadir sebagai pembicara pada sesi pertama mantan Ketua Umum PBNU, KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Kepala Satgas Anti Teror Datasemen 88 Mabes Polri, Brigjen. Pol. Dr. Untung S. Rajab dan moderator Ahmad Jauhari. Sementara pada sesi berikutnya menampilkan pembicara Ketua Umum PBNU, KH. Hasyim Muzadi, Ketua Komisi Fatwa MUI, KH. Ma’ruf Amin dan pengamat Intelejen, Juanda dan moderator Abdul Muqsid Ghozali.

Dalam halaqah tersebut disepakati, bahwa dakwah dengan menggunakan cara kekerasan tidak sejalan dengan ajaran agama Islam. Begitu juga dengan serangkain aksi terorisme di Indonesia yang mengatasnamakan dakwah Islam lebih merupakan sikap keputusasaan dalam menyikapi persoalan sosial. “Dakwah dengan kekerasan itu merupakan sikap keputusasaan aja. Hal itu karena tidak mampu menghadapi keadaan,” Kata KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur).

Para teroris itu, lanjut Gus Dur, merasa sudah tidak ada jalan lagi untuk menyelesaikan persoalan. Maka kemudian yang dilakukan adalah menciptakan suasana tidak aman bagi masyarakat melalui tindakan teror. Padahal setelah melakukan teror persoalannya juga tidak selesai. Yang terjadi justru menambah masalah.

Pada acara bertajuk Meneguhkan Dakwah yang Humanis dan Anti Teroris itu, Gus Dur juga mengatakan bahwa aksi terorisme yang mengatasnamakan Islam tidak berdasarkan pemahaman yang benar. Dalam Islam memang ada ajaran tentang jihad, tapi jihad yang dimaksud bukan dengan kekerasan. “Mereka keliru memahami Islam,” tegasnya.

Demikian juga konsep kafir, Gus Dur mengatakan harus ada pelurusan. Bahwa orang di luar Islam adalah kafir dan halal untuk dibunuh merupakan pemahaman yang salah. Istilah kafir, kata Gus Dur adalah orang musyrik atau selain luar ahlul kitab. Kafir dalam pemahaman Gus Dur adalah politeis atau mengakui lebih dari satu tuhan. “Kaum Yahudi dan Nasrani juga ahlul kitab,” terangnya.

Sementara itu, Kepala Satgas Anti Teror Detasemen 88 Mabes Polri, Brigjen. Pol. Dr. Untung S. Rajab mengatakan, selain disebabkan pemahaman yang keliru, terorisme muncul dikarenakan persoalan ekonomi. Umumnya para teroris memiliki latar belakang ekonominya kurang mampu. Orang semacam itu sangat mudah dipengaruhi. “Bayangkan saja, keluarga dari salah satu teroris yang tewas dalam bom Bali dua itu tidak punya biaya untuk membawa jenasahnya pulang,” ungkpanya.

Dialog pada sesi kedua halaqah ini tidak kalah menariknya dengan sesi pertama. Cak Hasyim—sapaan akrab KH. Hasyim Muzadi—yang baru datang dari Syiria membuat peserta halaqah semakin berdatangan memenuhi ruangan. Pada kesempatan tersebut, Cak Hasyim mengatakan, di dalam masyarakat kini ada kelompok yang mudah mengkafirkan kelompok lain yang dianggap menyimpang, termasuk NU. ”Mereka bilang, katanya mau mengislamkan NU. Jadi ada pengkafiran kepada orang Islam sendiri. Lalu apalagi dengan orang kafir,” kata Cak Hasyim.

Dikatakan kiai pimpinan pondok pesantren Al-Hikam Malang ini, di Indonesia saat ini memang ada kelompok yang ingin mendirikan negara Islam. Gerakan yang mereka lakukan sangat jelas di masyarakat. Negara Islam, kata cak Hasyim, jelas tidak sesuai dengan apa yang terapkan oleh NU selama ini. ”Memang ada keinginan Islam tidak hanya sebagai way of life, yaitu ingin menjadikan Islam sebagai sistem,” jelasnya.

Lebih lanjut, mantan Ketua PWNU Jawa Timur ini mengatakan, pelaku terorisme atas nama agama selama ini menganggap Indonesia ini darul harb (wilayah peperangan). Karena itu, meraka mengatakan tindakan teror yang dilakukan adalah jihad. ”Sehingga mereka mengebom, di antaranya dimulai dari Nganjuk,” ungkapnya.

Sementara itu, pengamat Inteljen Juanda mengatakan, muslim Indonesia memang sangat mudah dipengaruhi oleh orang lain untuk berbuat kekerasan, termasuk melakukan pengeboman. Hal itu, kata Juanda, disebabkan keterbatasan ekonomi masyarakat dengan didukung latar belakang pendidikan yang rendah. ”Itu karena kita ini gak cerdas,” ungkapnya. (rif)