Semarang, NU Online
Binatang imajiner Warak Ngendok dan festival Dugderan selama ini dipercaya sebagai waliyullah. Namun para sejarawan Semarang, baik Amin Budiman maupun Djawahir Muhammad, tak pernah bisa menyebutkan siapa pembuatnya. Karena tak pernah ada dalam catatan.
Belum lama ini Harsem bersama tim Gerakan Pemuda Ansor Kecamatan Genuk menemui seorang tokoh yang mengaku punya sanad kesaksian atas sejarah awal mula Warak Ngendok dan tradisi Dugderan.
<>
H Kholid (50), warga Trimulyo Genuk, mendapat cerita dari gurunya, almarhum KH Masrur. Masrur adalah mursyid (pembimbing) tarekat asal Jawi, Demak. Ia murid dari Kiai Zaid Girikusumo, Mranggen, Demak.
Lanjut Kholid, Kyai Zaid adalah ayah dari Kiai Zuhri. Zuhri adalah ayah dari ulama toriqoh terkenal di Jateng, KH Munif Muhammad Zuhri.
“Guru Saya, Kiai Masrur mendapat cerita dari gurunya, Kiai Zaid. Kiai Zaid yang merupakan kakek dari Mbah Munif Girikusumo ini mendapat riwayat dari gurunya, Kiai Abdul Hadi. Mbah Hadi inilah sahabat sekaligus guru ngaji Adipati Surohadimenggolo alias Simbah Terboyo. Kita tahu, beliau adalah waliyullah yang makamnya ada di belakang masjid keramat Terboyo,” terang Kholid.
Inti dari kisah bersambung tersebut, jelas Kholid, Adipati Surohadimenggolo yang memerintah di masa VOC berkeluh kesah kepada gurunya, Mbah Hadi. Sang adipati ingin berbuat sesuatu untuk membimbing ibadah rakyatnya dalam berpuasa.
Mbah Hadi menyarankan agar Bupati membuat pertemuan dengan rakyat dan membuat tengara masuknya bulan puasa. Usul Kiai Abdul Hadi diterima Adipati Hadimenggolo.
Dia pun meminta tolong guru sekaligus sahabatnya itu untuk membuat maskot acara pertemuan besar yang digagasnya itu. Kiai Abdul Hadi yang seorang seniman, mantan tukang kayu dan pandai mendalang, membuat patung hewan yang sampai sekarang kita kenal sebagai Warak Ngendok.
“Mbah Hadi merangkai kayu dan rumput menjadi hewan simbol nafsu manusia. Yaitu bersisik, mulutnya menganga dengan gigi bertaring, serta bermuka seram dengan badan seperti kambing. Itu gambaran nafsu yang harus dikalahkan dengan puasa,” tambahnya.
Maskot ciptaan Kiai Hadi itu dilengkapi telur. Sang guru ini menerangkan kepada adipati muridnya, bahwa jika orang bisa bersikap wirai atu Warak yang artinya menjaga nafsunya, maka akan dapat ganjaran. Simbolnya telur alais endog.
“Puas dengan maskot tersebut, Adipati Hadimenggolo lantas mengumumkan kepada warga Semarang untuk berkumpul di alun-alun (depan Masjid Kauman sekarang). Dia lalu meminta takmir masjid Kauman membunyikan meriam tanda akan datangnya bulan Ramadhan. Sejak saat itu, masyarakat membuat Warak Ngendok sebagai simbol datangnya Ramadhan,” beber Kholid.
Bunyi meriam dug dan der itulah yang kemudian melahirkan istilah Dugderan. Yaitu nama festival menyambut bulan puasa. Sedangkan masyarakat desa, termasuk Demak, mengenal istilah megengan untuk menyebut masa itu.
Megengan dalam bahasa Jawa berarti mengekang atau manahan. Maksudnya mengekang hawa nafsu istilah Arabnya Warak itu.
“Sampai sekarang, orang desa menyebut festival jelang Ramadhan adalah megengan. Kalau orang kota lebih sering mendengar istilah dugderan. Sebab memang penanda datangnya puasa adalah bunyi meriam di masjid kauman. Dug dan Der,” ungkap Kholid yang menjadi penasehat GP Ansor Genuk.
Lantas, mengapa selama ini Pemkot Semarang menyebut festival Dugderan dicanangkan oleh Adipati Aria Purbaningrat pada tahun 1881?
Kholid sebagaimana sejarawan Semarang, mengaku tidak tahu dasar Pemkot mengambil tokoh tersebut. Yang jelas, Kholid mendapat cerita seperti yang selama ini beredar di masyarakat.
“Saya mendapat cerita secara mutawatir dari jalur keilmuan. Guru saya hingga gurunya Adipati. Saya kira sejarah Semarang memang perlu diteliti kembali dan dicari titik temunya,” tutur pengurus Tamir Masjid Baitul Izzah Terboyo ini.
Ketua GP Ansor Genuk M Shodri menyatakan, pihaknya akan menggandeng Pengurus Cabang NU Kota Semarang dan elemen lain untuk menggelar seminar tentang sejarah Warak Ngendok dan Dugderan.
“Kami akan coba cari rekan untuk menggelar seminar tentang sejarah ini. informasi dari H Kholid saya kira layak untuk dibahas,” paparnya.
Senada, budayawan asli Semarang, Djawahir Muhammad menyatakan, perlu segera diadakan halaqoh untuk mengisi sejarah Semarang yang kurang lengkap dan kurang akurat.
Ditemui di halaman Masjid Agung Jawa Tengah usai pawai Dugderan, Ahad (31/7), Djawahir menyatakan, Warak Ngendog yang dibuat warga Semarang semakin hari semakin berbentuk aneh-aneh. Warganya juga macam-macam. Dia kuatir, lama-lama orang asal membuat saja karena tanpa ada pedoman.
“Warak Ngendok makin lama bentuknya makin aneh-aneh. Ada yang tidak jelas menggambarkan maksud binatang simbol nafsu manusia. Ini perlu pembakuan,” jelas konseptor Forum Budayawan Semarang ini.
Menurutnya, perlu ada simposium atau seminar untuk membahas hal itu dan menelurkan berbagai keputusan penting. Setidaknya soal siapa pencipta Warak Ngendok dan bagaimana bentuk asalnya.
Redaktur : Hamzah Sahal
Kontributor : Ichwan
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Gambaran Orang yang Bangkrut di Akhirat
2
Khutbah Jumat: Menjaga Nilai-Nilai Islam di Tengah Perubahan Zaman
3
Khutbah Jumat: Tolong-Menolong dalam Kebaikan, Bukan Kemaksiatan
4
Khutbah Jumat: 2 Makna Berdoa kepada Allah
5
Khutbah Jumat: Membangun Generasi Kuat dengan Manajemen Keuangan yang Baik
6
250 Santri Ikuti OSN Zona Jateng-DIY di Temanggung Jelang 100 Tahun Pesantren Al-Falah Ploso
Terkini
Lihat Semua