Warta

IPNU Harus Rumuskan Ideologi Kepelajaran

Rabu, 12 Juli 2006 | 14:37 WIB

Jakarta, NU Online
Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) harus mampu merumuskan ideologi yang terkait dengan kepelajaran. Ideologi itu penting keberadaannya sebagai upaya agar organisasi berbasis pelajar NU tersebut mampu merespon persoalan sosial.

Demikian wacana yang mengemuka dalam diskusi bedah buku “Ideologi Gerakan Pelajar; Rekonstruksi Ahlussunnah Wal Jama’ah” di sela-sela Kongres XV IPNU yang digelar di Asrama Haji, Pondok Gede, Jakarta, Rabu (12/7)

<>

Hadir sebagai pembedah buku karya Arief Rohman tersebut, intelektual muda NU yang juga seorang aktivis Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Mohammad Mustafied.

Mustafied, begitu pria mantan Ketua PC PMII Sleman ini akrab disapa, menilai, selama ini ada “ruang” yang tidak terisi di dalam IPNU. Ia menyebutnya prinsip perjuangan IPNU dalam dunia pelajar. “Ada ruang kosong, apa yang menjadi prinsip perjuangan IPNU dalam dunia kepelajaran, belum ada,” katanya.

Sehingga, lanjut Mustafied, tak bisa disalahkan jika IPNU dewasa ini kurang mampu merespon persoalan-persoalan sosial yang sedang dihadapi masyarakat. “Misalkan masalah komersialisasi dan mahalnya biaya pendidikan di Indonesia, IPNU tidak punya respon,” ungkapnya.

Mustafied tak menyangkal bahwa IPNU juga memiliki ideologi. Namun demikian, ideologi itu dikritiknya karena dinilai masih terlalu normatif. “Ideologi IPNU itu masih terlalu normatif, sama seperti (ideologinya) Ansor, NU sendiri, dan lain-lain,” tandasnya.

Oleh karena itu, imbuhnya, sebuah keniscayaan jika IPNU masih tetap ingin eksis, maka harus ada perumusan kembali ideologi tersebut agar bisa melakukan respon terhadap permasalahan sosial.

“Ideologi IPNU yang sudah ada harus di-break down ke arah yang menyentuh pada persoalan kepelajaran. Ibaratnya, bisa nggak kita bilang, kalau ada kader IPNU nggak peduli sama masalah pendidikan, maka dia bukan ‘umat’ IPNU,” terang Mustafied.

Jika hal itu tidak bisa dilakukan, kata Mustafied, maka percuma saja berorganisasi. Menurutnya, berorganisasi dengan pola seperti itu tidak lebih dari sekedar menjalankan rutinitas semata.

Namun demikian, Mustafied mensyaratkan perumusan kembali ideologi IPNU tersebut harus melalui kajian yang mendalam, tidak hanya kajian teks, tapi juga kajian historis (sejarah). Hal itu, katanya, penting dilakukan agar upaya tersebut tidak terjebak dalam kungkungan teks yang kaku.

Salah satu hal yang juga menjadi perhatian Mustafied adalah munculnya kecenderungan gerakan pemikiran dari para kaum muda NU—termasuk IPNU—yang mengarah pada tiga hal, yakni gerakan pemikiran yang bersifat liberalistik, sosialistik dan gaya Islam pasca-kolonial. (rif)