Warta

Islam Tak Bisa Dipisahkan dengan Agama Lain

Jumat, 23 Maret 2007 | 11:08 WIB

Jakarta, NU Online
Keberadaan Islam tak bisa dipisahkan dengan agama lain, terutama Yahudi dan Kristen. Karena dalam sejarahnya, agama Islam dan umatnya selalu berkaitan dan berhubungan baik dengan agama lain. Demikian disampaikan Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Prof Dr KH Said Aqil Siroj.

“Sebelum orang Islam tahu Muhammad nantinya akan menjadi nabi atau rasul, orang Kristen lebih tahu dulu,”kata Kang Said, begitu panggilan akrabnya, pada acara Training of Facilitators yang digelar Pengurus Pusat (PP) Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam) NU, di Gedung PKK Melati Jaya, Jalan Kebagusan Raya, Jakarta, Jumat (23/3)

<>

Pada acara bertajuk “Penguatan Kesetaraan, Toleransi dan Perdamaian bagi Pemimpin Agama dan Adat” itu, Kang Said mengungkapkan, di dalam Al-Quran dikisahkan tentang keberpihakan Nabi Muhammad terhadap bangsa Romawi yang beragama Kristen saat berperang melawan bangsa Persia yang beragama Majusi. “Nabi Muhammad kecewa saat tahu bangsa Romawi atas Persia,” tandasnya.

Tak lama kemudian, turunlah wahyu dari Allah kepada Nabi Muhammad yang menyatakan, di masa mendatang bangsa Romawi akan menang. “Jadi di Al-Quran itu ada surat Romawi (Ar-Rum, Red). Di Bibel (Kitab Suci Umat Kristen) tidak surat Mekah,” jelasnya.

Hubungan baik antara Islam dan Kristen, tambah Profesor jebolan Universitas Umul Quro Mekah itu, pun masih terjaga saat Umar bin Khattab menjadi khalifah. Diceritakan, suatu saat Khalifah Umar diberi kesempatan melaksanakan salat di sebuah gereja, namun ia menolak dengan alasan demi menjaga keberlangsungan hubungan baik tersebut.

“Umar tidak mau salat di gereja itu. Karena takut nantinya umat Islam merebut gereja tersebut dengan alasan bahwa Umar pernah salat di gereja itu,” terang pria kelahiran Cirebon, Jawa Barat, itu.

Dalam hubungannya dengan Yahudi, menurut Kang Said, Nabi Muhammad pada dasarnya diutus ke bumi setelah Nabi Isa dinilai gagal untuk menyempurnakan akhlak bangsa Yahudi yang saat itu sedang mencapai puncak kebuasan, hedonisme, keserakahan, ketamakan dan materialistis.

“Datang Yesus dengan kitab sucinya yang bicara soal akhlak. Lihat saja ajaran; kalau ditampar pipi kanan, maka berikanlah pipi kirimu. Namun Yesus dinilai gagal. Kemudian diutuslah Nabi Muhammad untuk menyempurnakan akhlak mereka,” terang Kang Said.

Di Indonesia, menurut Kang Said, hubungan antar-agama relatif baik. Dalam sejarahnya, terutama di masa-masa kemerdekaan, hubungan antar-agama sangat baik karena bisa saling menghormati dan menghargai. Tokoh-tokoh agama dipersatukan dalam semangat kebangsaan atau nasionalisme.

“Kenapa Wahid Hasyim (tokoh NU yang juga ayah KH Abdurrahman Wahid), KH Agus Salim yang Muhammadiyah dan lain-lain bisa akrab dengan Soekarno yang seorang Nasionalis? Mereka dipersatukan dalam semangat nasionalisme. Nasionalismenya adalah nasionalisme yang Indonesia, bukan nasionalisme Islam, bukan nasionalisme bangsa Arab, bukan nasionalisme-nya Ernest Renan, dan sebagainya,” jelas Kang Said.

Dengan demikian, pungkasnya, toleransi antar-umat bergama di negeri ini akan tetap terjaga sepanjang semangat kebangsaan itulah yang dikedepankan dalam kehidupan. Gagasan penerapan syariat Islam yang cenderung dipaksakan, Kang Said mencontohkan, justru akan bisa merusak hubungan baik antar-umat beragama itu.

“Dalam Islam, syariat itu penting. Tapi syariat itu adalah antara saja, bukan tujuan utama. Tujuan utamanya adalah kemaslahatan (kemaslahatan, Red) umat,” pungkas Kang Said. (rif)