Warta Munas dan Konbes NU

Kiai Sahal Mahfudh Tegaskan Tak Ada Pembicaraan Politik

Kamis, 27 Juli 2006 | 14:53 WIB

Surabaya, NU Online
Rois ‘Aam Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Dr KH M Sahal Mahfudh menegaskan tidak akan ada pembicaraan tentang politik praktis dalam Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama dan Konferensi Besar (Konbes) Nahdlatul Ulama (NU) di Surabaya pada 28-30 Juli.

"Nggak ada rencana itu," ujar KH Sahal Mahfudh didampingi Ketua Umum PBNU KH Hasyim Muzadi usai pertemuan tertutup dengan Panitia Munas Alim Ulama dan Konbes NU di arena acara, Asrama Haji Sukolilo, Surabaya, Kamis (27/7)

<>

Kiai Sahal, demikian panggilan Pengasuh Pesantren Maslakul Huda, Kajen, Pati, Jawa Tengah, mengemukakan hal itu menanggapi isu adanya sejumlah ulama peserta Munas dan Konbes NU yang akan menggagas partai politik baru di luar forum Munas dan Konbes NU itu. Isu tersebut sebagaimana dikatakan Ketua Pengurus Wilayah NU Jawa Timur Dr KH Ali Maschan Moesa MSi.

Sementara itu, Ketua Umum PBNU KH Hasyim Muzadi menegaskan bahwa silaturrahmi ulama hanya menampung problem keumatan, politik kebangsaan, dan isu-isu kenegaraan. "Itu pun tidak akan diagendakan keputusan, tapi kita hanya menyerap apa yang menjadi uneg-uneg (aspirasi) para ulama dan tokoh NU," tegasnya.

Sebagaimana sering disampaikan pada berbagai kesempatan, mantan Ketua PWNU Jatim itu kembali menegaskan bahwa hajatan besar PBNU itu hanya mengagendakan peneguhan NU terhadap Pancasila dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

"NU sebenarnya sudah memutuskan komitmen terhadap Pancasila dan NKRI itu pada Munas Alim Ulama di Situbondo (Jatim) pada tahun 1984, tapi hal itu perlu diteguhkan kembali, mengingat saat ini ada tarikan ke kanan dan ke kiri yang sangat keras, sehingga
peneguhan komitmen terhadap Pancasila dan NKRI itu sangat penting," terang Hasyim.

Pengasuh Pondok Pesantren Al Hikam, Malang, Jatim itu menyatakan, tarikan yang ada saat ini sudah bersifat ideologis dan mengganggu integrasi. "Misalnya, otonomi khusus jangan sampai mengarah kepada independen (kemerdekaan)," ungkapnya.

Selain itu, katanya, dorongan ke kanan juga muncul dalam bentuk perda (peraturan daerah) syariat. "Itu akan dibicarakan, karena hukum Islam itu diperuntukkan civil society, sedangkan untuk negara, yang boleh naik itu nilai-nilai agama, bukan formulasi
agama. Itu pun dikemas dalam kebangsaan dan demokrasi," ujarnya. (ant/rif)