Warta

Misi Pemantauan Perdamaian di NAD akan Dilakukan Dua Tahap

Selasa, 16 Agustus 2005 | 09:04 WIB

Banda Aceh, NU Online
Pelaksanaan misi pemantauan proses perdamaian antara Pemerintah RI dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang telah ditandatangani di Helsinki, Finlandia, Senin (15/8), akan dilakukan dalam dua tahap.

Calon Ketua tim monitoring Aceh (Aceh Monitoring Mission:AMM), Pieter Feith di Banda Aceh, Selasa, mengatakan, tahap pertama terhitung dari 15 Agustus sampai 14 September 2005 dengan hadirnya Tim Pemantau Awal (IMP, Intial Monitoring Presence).

<>

Tahap kedua terhitung dari 15 September 2005 dan seterusnya melakukan pemantauan dengan Misi Pemantauan Aceh (AMM), ujarnya.

Disebutkan, IMP telah dibentuk 15 Agustus 2005, karena adanya keinginan dari pihak RI maupun GAM agar sesegera mungkin setelah penandatanganan nota kesepahaman damai, para pemantau dapat berada di Aceh.

IMP akan terdiri dari 80 anggota yang tugasnya akan menjembatani tenggang waktu diantara penandatangan MoU di Helsinki sampai pembentukan secara utuh AMM pada 15 September 2005, ujarnya.

Kehadiran mereka akan menunjukkan komitmen dari Uni Eropa, Norwegia, dan Swiss, beserta lima Negara ASEAN, bagi terlaksananya proses perdamaian di Aceh.

Tugas IMP mencakup aspek perencanaan dan persiapan bagi terbentuknya AMM. Personil IMP akan mendirikan kantor pusatnya di Banda Aceh dan empat kantor wilayah di Banda Aceh, Bireuen (Kabupaten Bireuen), Lhokseumawe (Kota Lhokseumawe), dan Meulaboh (Kabupaten Aceh Barat).

IMP akan diketuai Piter Feith dari Sekretaris Dewan UE, Wakil Ketua Utama, Letjen Thonglek dari Thailand. Piter Feith dan Thonglek juga nantinya akan menjadi ketua dan wakil ketua utama AMM untuk masa enam bulan pertama.

Selanjutnya, AMM akan mulai bekerja secara formal terhitung 15 September 2005. AMM merupakan sebuah misi sipil yang terdiri dari kurang lebih 200 personil sipil tak bersenjata.

Kantor pusat AMM di Banda Aceh dengan kantor wilayah di Sigli (Kabupaten Pidie), Bireuen, Lhokseumawe, Langsa (Kota Langsa), Tapaktuan (Kabupaten Aceh Selatan), Blangpidie (Kabupaten Aceh Barat Daya), Meulaboh, Lamno, Banda Aceh, Kutacane (Aceh Tenggara), dan Takengon (Aceh Tengah) dan juga sebuah kantor logistik di Medan (Sumut).

Tugas-tugas AMM sesuai dengan MoU Helsinki adalah memantau ditaatinya gencatan senjata diantara kedua belah pihak, memantau penyerahan diri dan perlucutan senjata GAM, memantau relokasi satuan-satuan non organik TNI dan Polri.

Memantau situasi hak azasi manusia dalam rangka perlucutan senjata dan penyerahan diri anggota aktif GAM, mengambil tanggungjawab tertentu dalam penyelesaian ketidaksepahaman dalam permasalahan kasus-kasus pemberian amnesti sesuai dengan prosedur penyelesaian ketidaksepahaman yang telah disepakati dalam MoU.

Kemudian, memeriksa dan mengambil tanggungjawab dalam penyelesaian pengaduan dan dugaan pelanggaran terhadap MoU sesuai dengan prosedur penyelesaian ketidaksepahaman yang telah disepakati. Feith menyatakan, AMM tidak akan mengambil peran sebagai fasilitator atau perunding.

Apabila hal tersebut (fasilitasi) dianggap perlu dalam proses pelaksanaannya, maka hal itu merupakan tanggungjawab dari kedua belah pihak serta fasilitator awal, yaitu Crisis Management Initiative (CMI), ujarnya.

Para pemantau akan melaksanakan tugas mereka dengan berpatroli dan berkomunikasi dengan kedua belah pihak, serta dengan melaksanakan inspeksi dan penyidikan bilamana dianggap perlu, kata Pieter Feith.(ant/mkf)