Warta MUKERNAS LAKPESDAM NU

Nilai-nilai Aswaja Tak Sebanding dengan Kemampuan Ber-jam'iyah NU

Rabu, 13 Desember 2006 | 06:41 WIB

Palembang, NU Online
Nilai-nilai dasar dan ajaran Ahlussunnah Wal Jamaah (Aswaja) yang telah menjadi dasar dan watak Nahdlatul Ulama (NU) tak sebanding dengan kemampuan berjam’iyah warga nahdliyin (sebutan untuk warga NU). Di antara indikatornya adalah banyaknya kasus pelanggaran ketentuan organisasi yang telah ditetapkan, seperti halnya rangkap jabatan.

Demikian disampaikan Ketua Pengurus Pusat (PP) Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (Lakesdam) NU Nasihin Hasan kepada NU Online di sela-sela acara Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) Lakpesdam NU di Hotel Carrisimi, Palembang, Sumatera Selatan, Rabu (13/12).

<>

Nasihin, begitu panggilan akrabnya, mengatakan, indikator lainnya seperti kasus kepentingan konflik antara pribadi dengan kepentingan jamaah dan jam’iyah, kurang efektifnya struktur yang ada dan kinerja manajemen organisasi, tumpang tindih peran antara organisasi induk dengan badan otonom, lajnah dan lembaga.

“Sementara, tantangan NU ke depan dalam menyikapi persoalan masyarakat dan relasi global yang semakin menuntut peran dan kiprah NU, jelas membutuhkan penguatan manajemen serta ketersediaan kader-kadernya yang siap dan militan,” terang Nasihin.

Dalam sejarahnya, Lakpesdam NU didirikan, baik di tingkat pusat maupun wilayah dan cabang, adalah bertujuan untuk meningkatkan kapasitas sumber daya manusia NU, terutama yang berhubungan misi mengawal kerja-kerja sosial-kemasyarakatan NU. Hal itu, katanya, sesuai dengan uraian yang terkandung dalam Khittah NU 1926 atau yang disebut juga dengan Khittah Nahdliyah.

Peran dan fungsi lembaga yang menjadi pusat penelitian dan pengkajian di NU tersebut, menurut Nasihin, juga tertuang dalam hasil Pertemuan Nasional Lakpesdam NU pada Agustus 2004 silam. Di dalamnya disebutkan tiga hal mendasar yang berhasil disepakati, antara lain, pertama, visi Lakpesdam membangun iklim yang dinamis dan konsisten terhadap visi kerakyatan, baik di kalangan jam’iyah maupun jamaah. “Melalui pengembangan sumber daya manusia yang kritis di lingkungan NU,” tandasnya.

Kedua, misi Lakpesdam adalah memperkuat kapasitas individu dan lembaga serta penguatan basis jamaah dengan membongkar paradigma fatalis. Ketiga, strategi penguatannya adalah mendorong semuan tingkatan struktur kelembagaan NU untuk melakukan perbaikan sistem, manajemen, penguatan institusi dan sumber daya manusia NU.

“Termasuk di dalamnya, pembenahan system organisasi dan pengkaderan serta sistem pengorganisasian masyarakat. Karena keberadaan NU tidak bisa terlepas dari masyarakat umumnya,” jelas Nasihin.

Dijelaskan Nasihin, 21 tahun kiprah Lakpesdam NU sejak didirikannya pada Muktamar ke-27 di Situbondo tahun 1984 silam terhadap penguatan organisasi, manajemen dan pengkaderan NU, masih menyisakan sejumlah catatan. Di antaranya adalah tidak seragamnya persepsi di tingkat pengurus wilayah dan pengurus cabang tentang paradigma dan mandat utama pembentukan Lakpesdam NU.

“Sementara, tantangan keadaan di luar, baik di tingkat lokal, nasional maupun global, menuntut adanya lembaga atau tatanan organisasi yang kuat dalam menghadapi dan menyikapi perkembangan kehidupan masyarakat secara luas,” ungkap Nasihin.

Catatan lain, imbuh Nasihin, pola koordinasi dan komunikasi antar-struktur Lakpesdam di berbagai tingkatan juga menjadi permasalahan mendasar. “Struktur kepengurusan Lakpesdam kan mengikuti struktur NU-nya. Di tingkat PWNU, maka ada juga PW Lakpesdam dan seterusnya. Akibatnya, seolah-olah tidak ada hubungan organisastoris secara langsung dan tidak saling berkoordinasi,” terangnya.

Kesamaan peran dan fungsi Lakpesdam, lanjut Nasihin, mestinya dapat menjadi sebuah kekuatan tersendiri yang cukup menentukan dalam perjalanan NU sebagai sebuah organisasi civil society. “Namun, berbagai kekuatan tersebut tidak berhimpun karena persoalan prosedural. Kekuatan tersebut masih terserak karena minimnya komunikasi yang saling menguntungkan,” pungkasnya. (rif)