Jakarta, NU Online
Rais Aam PBNU KH Sahal Mahfudz mengungkapkan bahwa NU harus menggunakan pendekatan berdasarkan kebutuhan. Kalau tidak suatu saat pasti akan hilang karena ditinggal warganya.
“Kalau sekarang masih kuat ke-NU-annya, banyak orang kalau tak NU tidak mau. Ini karena kokohnya jamaah yang dipengaruhi kultur dan tzakofah.,” tuturnya dalam Halaqoh Penyusunan Rancangan Program Pemberdayaan Syuriah Nahdlatul Ulama di Jakarta, Kamis.
<>Namun demikian, NU harus merubah paradigmanya karena jika suatu saat tidak bisa memenuhi kebutuhan, akan ditinggalkan masyarakat karena mereka akan beralih pada organisasi lain
Upaya untuk mengembangkan NU dengan berbasis pada kebutuhan tersebut bisa dilakukan dengan peningkatan kemampuan para pengurusnya. Menurut Kiai Sahal, jajaran syuriyah layak untuk mendapatkan prioritas pertama.
Selama ini banyak pengurus syuriah yang lebih menguasai aspek-aspek keagamaan daripada aspek manajerial dan keorganisasian. Sering seorang syuriah hanya berpendidikan ibtidaiyah tapi bisa menjadi kiai karena mondok di pesantren dalam jangka waktu lama. Disisi lain, jajaran tanfidziyah atau pelaksana banyak yang bergelar S1 sehingga sering ada kesenjangan.
Kondisi inilah yang salah satunya menjadi alasan PBNU menyelenggarakan halaqah dalam upaya meningkatkan pemberdayaan jajaran syuriah. Namun pengaruh Ponpes Maslahul Huda Pati tersebut berpesan agar upaya ini mempertimbangkan aspek jamaah dan jamiyyah sehingga tidak terjadi gelojal yang tidak diinginkan.
Ketua Umum MUI tersebut menjelaskan kesenjangan yang timbul ini bisa ditarik dari latar belakang berdirinya NU. Pada zaman dahulu, embrio NU adalah sebuah jamaah, kelompok ulama-ulama yang melakukan kegiatan yang belum dijadikan organisasi yang akhirnya diformalkan manjadi jamaah.
Pada masa awalnya, yang aktif dalam organisasi tersebut juga para ulama. Namun kebutuhan adanya pengurus akhirnya melibatkan orang lain untuk terlibat dalam organisasi.
Sampai sekarang, kesenjangan antara syuriah dan tanfidziah tersebut masih terasa. Salah satunya disebabkan oleh pola rekrutmen pengurus syuriyah yang dalam hal tertentu masih kental nuansa jamiyyahnya.
“Kalau menggunakan pendekatan jamiyyah, pakai banyak kriteria dan syarat. Kalau pengurus syuriah biasanya pakai aklamasi pura-pura, saya sendiri juga begitu. Tapi kalau tanfidziyah pilihan langsung, kan lain. Ini persoalan jamaah, saya akui itu,” tandasnya.
Akibatnya, seringkali terjadi para pengurus syuriah ketika dimintai pendapat oleh ummatnya tentang suatu masalah seringkali masalah menyerahkan ke jajaran tanfidziyah. Akibatnya timbul kesan bahwa tanfidziyah lebih berkuasa dibandingkan dengan syuriyah karena mereka lebih sering tampil di depan public dan membahas berbagai masalah.
“Ini terjadi karena memang kiai tidak menguasai masalahnya, karena memang cara pemilihan belum sepenuhnya menggunakan kriteria jamiyyah. Kita masih menggunakan pola-pola jamaah itu tadi dalam pola rekrutmen kepengurusan.
Pelatihan ini diikuti oleh 40 orang dari jajaran syuriah, tanfidziyah, lembaga, lajnah, badan otonom dari PBNU dan beberapa pengurus wilayah NU. Acara berlangsung pada 5-6 April dengan membahas meneguhkan peran dan fungsi syuriah dalam struktur organisasi NU, merumuskan sosok kader ideal syuriah NU untuk masa mendatang dan merumuskan rancangan program pemberdayaan syuriah Nahdlatul Ulama. (mkf)
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Gambaran Orang yang Bangkrut di Akhirat
2
Khutbah Jumat: Menjaga Nilai-Nilai Islam di Tengah Perubahan Zaman
3
Khutbah Jumat: Tolong-Menolong dalam Kebaikan, Bukan Kemaksiatan
4
Khutbah Jumat: 2 Makna Berdoa kepada Allah
5
Khutbah Jumat: Membangun Generasi Kuat dengan Manajemen Keuangan yang Baik
6
250 Santri Ikuti OSN Zona Jateng-DIY di Temanggung Jelang 100 Tahun Pesantren Al-Falah Ploso
Terkini
Lihat Semua