Warta

PBNU Dialog dengan Islam Garis Keras

Selasa, 16 Agustus 2005 | 10:50 WIB

Jakarta, NU Online
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menggelar dialog dengan Islam garis keras, untuk mencari solusi dari semakin maraknya aksi-aksi kekerasan yang mengatasnamakan agama belakangan ini. Acara dilangsungkan di gedung PBNU lt.5, Selasa (16/8).

Hadir dalam kesempatan tersebut, Habib Abdurahman Ismail Assegaf Parung, Sumargono (PPMI), Egi Sudjana (SPBSI), Rhoma Irama (Forum Umat Islam),  KH. Amidhan (MUI), Muhammad Al-Hattar (Hijbut Tahrir Indonesia), Fauzan Al-Anshari (Majelis Mujahidin), Farid Wajdi, Mashadi, (FUI), Muhammad Abu Syah Fahrudin (Forum Mewaspadai Aliran Sesat), Hartono Ahmad Dzaiz, penulis buku Ada Pemurtadan di IAIN, Azrul (Muhamadiyah), H. Muhammad Nur, (Gerakan Umat Islam Indonesia), Ali A. Dawa (Majelis Dakwah Penegak Pancasila) dan perwakilan Perguruan Tinggi Dakwah Islam (PTDI), Dewan Dakwah Islam serta jajaran pengurus harian PBNU.

<>

Mereka secara jelas meminta sikap PBNU secara hitam putih dalam menyikapi persoalan yang sedang berkembang di masyarakat seperti, kontroversi fatwa MUI, soal Ahmadiyah, menolak rekomendasi mengajarkan 5 agama di SMP, menolak secara tegas bahkan meminta PBNU tidak memberikan tempat kepada orang yang berpaham liberal, sekular, dan pluralisme serta soal rencana sekularisasi di Aceh oleh kekuatan-kekuatan asing paska penandatanganan MoU Helsinki.

"Kita minta NU tidak plin-plan, agar kami bisa memberikan penjelasan kepada umat. Kalau NU tidak tegas kami akan memfatwakan kepada umat agar jangan percaya kepada NU dan MUI," ungkap Habib Abdurahman Ismail dengan suara lantang.

Menurutnya yang juga diamini oleh kelompok yang lain, selama ini NU terlihat tidak memiliki sikap yang jelas, sehingga sulit ditebak kemana akan berpihak. "Karena itu kami meminta kepada PBNU untuk tegas dalam forum ini, kami tidak mau berdebat dan berargumentasi, yang kami butuhkan sikap NU agar besok bisa kita fatwakan kepada umat," tambah Habib yang memimpin penyerbuan kampus Ahmadiyah di Bogor beberapa waktu lalu.

Habib yang dikenal berbeda sikap dengan ketua FPI, Habib Riziq ini dalam forum itu juga menyatakan akan menantang melakukan mubahalah (semacam ritual bersumpah meminta petunjuk kepada Tuhan untuk menurunkan azab secara langsung kepada orang yang bersalah dihadapan manusia-red). Ia juga meminta umat Islam tidak terkotak-kotak, untuk itu ia mengajak semua kelompok keagamaan melepaskan baju  dan mendirikan Harakah Islamiyah Indonesia untuk melawan musuh-musuh Islam.

Sementara itu Rhoma Irama yang hadir dalam posisi Ketua Forum Umat Islam Indonesia mengharapkan kepada NU dan MUI untuk memimpin kelompok Islam lainnya mengadakan dengar pendapat kepada Presiden terkait dukungan terhadap fatwa MUI. "Sebab kalau tidak dilakukan MUI akan dilecehkan," ucap Raja Dangdut ini.

Menanggapi itu Ketua Umum PBNU, KH. Hasyim Muzadi yang memprakarsai dialog tersebut sebelumnya menyampaikan keinginan agar umat Islam satu aqidah, satu syari'ah dan tidak terpecah belah, bahwa yang terjadi selama ini bukanlah perbedaan prinsip-prinsip aqidah tetapi hanyalah perbedaan thariqah (jalan atau cara). Karena itu, pinta Hasyim janganlah perbedaan cara ini lantas menjustifikasi kebenaran mutlak sehingga menggangap faham orang lain salah dan membenarkan tindakan kekerasan. "Boleh melakukan itu tapi harus dalam kerangka amar ma'ruf nahi munkar dan fastabiqul khairat," ujar pimpinan ponpes Mahasiswa Al-Hikam Malang ini.

Selain itu, Hasyim juga mengingatkan bahwa terjadinya kontroversi fatwa MUI selama ini karena umat belum mendapatkan pencerahan dan masih terjadinya perbedaan semantik terutama soal liberalisme, pluralisme dan sekularisme. Menurutnya antara MUI dengan dunia akademi dengan masyarakat awam tidak sama. MUI mengatakan bahwa yang namanya pluralisme itu agama campur-campur tapi sebenarnya Islam tidak menolak pluralitas, karena ada lakum dinukum waliyadin.

Sedangkan pemahaman orang Barat, lanjut Hasyim pluralisme yang dikumandangkan oleh MUI itu akan menghabisi seluruh agama diluar Islam. "Karena begitu mereka bereaksi keras, ditambah lagi mereka beranggapan bahwa Indonesia adalah negara Pancasila bukan negara agama dan dia juga menjadi satu dengan gerakan antipluralisme. Jadi disini ada perbedaan semantik. Karena itu saya meminta kepada MUI untuk memberikan penjelasan tentang pluralisme, pluralitas, sekuler, sekularisme, liberal serta liberalisme yang dipahaminya dengan paham bhineka tunggal ika dan paham dunia intensional bahwa ada pengakuan terhadap pluralitas," ujarnya.

Tentang sekulerisme, kata mantan Cawapres PDIP, sekuler itu dunia, kalau ada ismenya berarti itu faham keduniaan yang non Tuhan atau menyingkirkan Tuhan di dalam kehidupan, padahal dalam ajaran kita ada yang harus diatur oleh syariat dan ada yang diatur oleh manusia. "Disitu kan ada pemilahannya, disini kacau karena tidak ada penjelasan di dalam