Warta BAHTSUL MASAIL

Pemahaman Umat Tentang Zakat Rendah, Tapi Pengelola Sudah Sangat Kreatif

Jumat, 9 Juli 2010 | 13:40 WIB

Jakarta, NU Online
Pemahaman umat Islam mengenai zakat masih sangat rendah. Salah satu indikasinya, umat Islam umumnya baru membayarkan zakatnya pada bulan Ramadhan. Padahal zakat harta (maal) yang diperuntukkan bagi delapan asnaf itu mestinya tidak hanya dikeluarkan pada bulan puasa.

Namun di sisi lain, para pengelola zakat justru sangat kreatif dalam menghimpun dan menyalurkan dana zakat. Para pengelola zakat telah mempunyai cara sendiri dalam mengumpulkan zakat, juga mempunyai definisi tersendiri tentang delapan asnaf. Mereka mentasyarufkan harta zakat dengan berbagai cara, misalnya dalam bentuk usaha produktif, sehingga tidak langsung sampai ke tangan mustahiq. Bagaimanakah menurut NU?<>

Persoalan zakat menjadi salah satu masail yang dibahas dalam bahtsul masail diniyah atau pembahasan masalah keagamaan yang diadakan oleh Lembaga Bahtsul Masail PBNU di Pondok Pesantren Al-Itqon, Jakarta Barat, Kamis (8/7) kemarin. Pembahasan hukum Islam ini dihadiri perwakilan PCNU se-Jabodetabek dan Banten.

Ketua PCNU Jakarta Barat, KH Zuhri Ya’kub, menekankan pentingnya pembedaan antara zakat fitrah dan zakat maal. Zakat fitrah dikeluarkan pada bulan Ramadhan dan utamanya pada malam Idul Fitri. Zakat fitrah, entah berupa bahan makanan pokok atau uang, harus disalurkan pada saat itu juga dan tidak boleh ditunda. Dan penerima zakat fitrah ini tertentu pada fakir miskin saja.

Sementara zakat maal atau zakat harta inilah yang dimaksud dalam Hadits Nabi disalurkan kepada delapan asnaf, yakni fakir, miskin, amil, muaallaf, ghorim (penghutang), sabilillah, ibnu sabil, dan hamba sahaya. Zakat maal ini harus dikeluarkan pada masa tertentu dan tidak mesti pas di bulan Ramadhan.

Menurut Zuhri Ya’kub, pembedaan dua model zakat ini perlu ditekankan terlebih dahulu sebelum berbicara penyaluran dan pengelolaan zakat.

“Untuk zakat fitrah hanya membutuhkan panitia saja yang bertugas menghimpun dan menyalurkan untuk lingkup masyarakat yang kecil seperti kelurahan. Penyaluran zakat fitrah ini tidak boleh ditunda. Sementara untuk zakat maal inilah yang membutuhkan amil. Selanjutnya amil yang menentukan pola penyalurannya,” katanya.

Wakil Rais Syuriyah PCNU Jakarta Selatan KH Lukman Hakim memaparkan pengertian amil yang sebenarnya. Amil adalah naibul mustahiq atau wakil dari para penerima zakat, bukan naibul muzakki atau wakil dari pezakat. Karena amil bertindak sebagai naibul mustahiq maka sejatinya mustahiq harus ditentukan terlebih dahulu sebelum ada amil.

Jika seseorang atau lembaga beroperasi terlebih dahulu sebelum ditentukan siapa saja mustahiqnya, sebenarnya mereka adalah naibul muzakki, bukan amil. Pembedaan semacam ini diperlukan agar pola pengelolaan zakat berlangsung sesuai koridor fiqhiyah atau sesuai ketentuan hukum Islam.

“Maka amil harus ditentukan dulu. Lalu ada semacam serah terima atau ijab qobul entah bagaimana caranya, dan tidak harus secara fisik. Zakat yang dipegang amil itu harus ditentukan siapa-siapa penerimanya dulu, baru bisa dikelola,” katanya.

Pembahasan mengenai penentuan mustahiq di awal ini terkait dengan pertanyaan bolekah zakat dikelola secara produktif, misalnya dalam bentuk badan usaha. Jawabannya tentu boleh karena tidak semua mustahiq bisa mengelola harta.

Bahtsul masail yang dipimpin oleh KH Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masail PBNU KH Arwani Faishal lebih cenderung menyarankan agar mustahiq ditentukan terlebih dahulu sebelum harta zakat dikelola dalam bentuk apapun. Karena jika dikelola dalam bentuk usaha, para mustahiq inilah yang sejatinya sebagai pemilik usaha, atau pemegang saham, bukan para amil. (nam)