Warta JELANG KONFERWIL NU JATENG

Pengurus Dinilai Kurang Memahami Khittah Secara Utuh

Ahad, 6 Juli 2008 | 20:18 WIB

Slawi, NU Online
Para pengurus Nahdlatul Ulama (NU) dinilai kurang memahami Khittah NU 1926 atau landasan berfikir, bersikap dan bertindak NU. Sehingga warga NU (Nahdliyin) yang tidak mengerti apa itu NU yang sebenarnya, menjadi semakin tidak mengerti alur pikiran yang dijalankan pengurus.
 
Hal tersebut diungkapkan oleh Rais Suriyah Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kab. Tegal KH Chambli Utsman usai mengikuti Istighosah dan Silaturohim antar Warga NU, Habaib dan Ulama tingkat Kab. Tegal di Gedung NU Slawi, Ahad (6/7) siang.<>
 
Nahdliyin tidak akan mengerti Khittah jika pengurusnya saja serius memahami dan mempraktikkannya. Sebab, apa yang dilakukan oleh Nahdliyin sesuai dengan apa yang dicontohkan oleh pengurusnya.

“Nantinya, dalam perekrutan pengurus PWNU yang baru harus dilakukan seselektif mungkin dengan mengedepankan proforsionalisme yang ala NU,” kata KH Chambli Utsman seperti dilaporkan kontributor NU Online Wasdiun.
 
Lebih lanjut, Kyai Chambali menyatakan, Khittah tidak hanya berkaitan dengan bidang politik saja,  akan tetapi juga budaya, ekonomi, hukum dan sosial. “Semua lini kehidupan, harus disikapi dengan khittah sehingga tidak menyimpang dari AD/ART,” ucapnya.
 
Berkaitan dengan kriteria pemimpin yang pantas memimpin NU Jateng, Kyai Chambali menyodorkan orang yang mempunyai ilmu dan kemampuan managerial, ”berpengalaman organisasi baik teori maupun praktek, memahami Nahdliyin dan masih duduk dalam kepengurusan NU,” katanya.

“Pemimpin NU itu harus PKB, bukan Partai Kebangkitan Bangsa tapi Pinter, Kober dan Bener (pandai, senggang waktunya untuk mengurusi NU, dan benar),”ungkapnya.
 
Secara pribadi, dalam pandangan Kyai Chambali, Moh. Adnan masih pantas memimpin NU Jateng meskipun banyak pihak yang mencemooh akibat kekalahannya pada Pilgub 22 Juni lalu. “Adnan itu masih pantas, terbukti 2 kali periode mempimpin NU Jateng berhasil,” ungkapnya.
 
Kekalahan dalam pilgub, kata Kyai Chambali, bukan semata-mata karena Adnan. Lebih dari itu adalah karena interpretasi terhadap kata Khittah yang diartikan secara gegabah. (nam)