Warta Munas dan Konbes NU

PWNU DIY Usulkan Perobakan Inpres 13/2005 tentang Perberasan

Jumat, 28 Juli 2006 | 08:33 WIB

Surabaya, NU Online
Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) mengusulkan agar Munas dan Konbes NU di Surabaya (27-30 Juli 2006) mendesak pemerintah untuk segera melakukan perombakan terhadap Inpres 13 13/2005 tentang Perberasan. Inpres itu dinilai tidak memberikan manfaat bagi kesejahteraan warga nahdliyyin.

Besarnya Harga Pembelian Pemerintah (HPP) terhadap gabah dan beras merupakan upaya perbaikan kesejahteraan petani yang senantiasa dibangga-banggakan oleh Pemerintah dengan Inpres 13/2005 tentang Perberasan, dibandingkan dengan Inpres yang digantikannya, yaitu Inpres 2/2005. Dalam implementasinya, Inpres 13 yang diundangkan awal Oktober ini telah menimbulkan banyak persoalan yang kulminasinya adalah diangkatnya isu impportasi dalam pro-kontra Angket DPR beberapa waktu lalu.

<>

”Kalau dicermati, memang ada beberapa persoalan mendasar yang syarat konflik dan perlu peninjauan ulang. Persoalan tersebut, antara lain, mengenai terminologi HPP yang menggeser terminologi Harga Dasar pada Inpres 9/2002, dan inpres-inpres sebelumnya,” kata Wakil Ketua PWNU DIY KH. Muhammad Maksum kepada NU Online di Asrama Haji Sukolilo, Surabaya, Jum’at (28/7), saat diberlangsungkannya Munas dan Konbes.

Dengan HPP ini kewajiban untuk melakukan proteksi terhadap kesejahteraan petani pada tingkat negara menjadi sangat longgar. Dalam relasi inilah para petani yang mayoritasnya warga nahdliyyin nyaris tidak terproteksi.

Persoalan kedua, demikian Maksum, Inpres 13/2005 mengandung cacat materi yang sangat fatal. Hal ini ditunjukkan oleh besaran HPP yang tidak setimbang antara HPP Beras dan HPP Gabah. Dengan rendemen perberasan 60-62%, satu kilogram beras yang harganya hanya Rp 3.550/kg, memerlukan bahan baku GKG sebanyak 1,7-1,6 kilogram, yang nilai uangnya  Rp 3.800 sampai Rp 3.680.

”Kalkulasi ini menunjukkan dengan jelas bahwa harga beras lebih rendah dibandingkan harga bahan bakunya. Ini sesuatu yang musykil terjadi, kecuali berasnya sudah kecebur di lumpur porong. Dari pembandingan HPP ini banyak pihak mencurigai adanya upaya cheating, kaddzaab, atau pembodohan di balik angka-angka ini. Celakanya, mayoritas kurban kaddzaab ini adalah para petani Nahdyiyyin,” kata Maksum.

Madlorot yang ketiga, tambah dosen Fakultas Pertanian Univeritas Gajah Mada (UGM) itu, Inpres 13 tersebut dirumuskan Oktober tahun lalu berdasarkan input produksi utama dengan HET pupuk bersubsidi masa lalu, yakni setelah tujuh bulan penerapannya semenjak 1 Januari 2006, dan HET pupuk bersubsidi dinaikkan harganya  bulan lalu seputar 10%.

”Tentu besaran-besaran HPP yang ditunjukkan oleh Inpres 13/2005 menjadi sangat kedaluwarsa dan karenanya perlu segera dinaikkan besarannya. Hanya melalui paningkatan HPP, kenaikan harga pupuk tidak memberatkan bagi petani,” katanya. (nam)