Warta

Wali Songo Akulturasikan Budaya dan Agama yang Saling Menguntungkan

Senin, 26 September 2005 | 14:55 WIB

Jakarta, NU Online
Kesuksesan pengembangan agama Islam di Indonesia dikarenakan karena dakwah yang dilakukan oleh para wali songo dengan melakukan akulturasi yang erat dalam karakter budaya masing-masing daerah dengan agama.

Hal tersebut dikemukakan oleh KH Hasyim Muzadi dalam pengantar acara penandatanganan MoU antara Departemen Kebudayaan dan Pariwisata dengan PBNU dalam “Pengembangan dan Pelestarian Wisata Ziarah serta Pendidikan dan Pelatihan Pariwisata di Lingkungan Nahdlatul Ulama” di Gd. PBNU, Senin (26/9).

<>

Walisongo melakukan penyebaran Islam secara step by step, tidak radikal. Dicontohkannya Indonesia sebelum masuk Islam kuat sekali ajaran Hindu dan Budhanya. Mereka menganggap suci hewan sapi. Ketika umat Islam, saat Idul Adha kita diwajibkan berkurban, para wali songo mengganti sapi dengan kerbau sebagai bentuk toleransi kepada ummat lainnya.

“Maka dari itu, ajaran wali songo merupakan ajaran yang jauh dari radikalisme dan kekerasan. Inilah yang ingin dikembangkan oleh NU,” tandasnya.

Pengasuh Ponpes Mahasiswa Al Hikam Malang tersebut juga menjelaskan bahwa para wali songo tersebut juga sudah punya setting hubungan antara agama dan negara. Saat Jakfar Shodik atau Sunan Kudus mendirikan kerajaan Demak, bukan dinamakan sebagai kerajaan Islam Demak, tetapi kerajaan Demak Bintaro. “Inilah tata hubungan agama dan negara yang harmonis yang dibangun oleh walisongo,” paparnya.

Tuduhan adanya sinkretisme yang dilakukan oleh para wali songo dalam berdakwah juga ditolak oleh mantan ketua PWNU Jatim tersebut. Kondisi masing-masing wilayah berbeda sehingga harus digunakan pendekatan yang berbeda. “Mindset budaya yang berbeda dengan timur tengah harus disetel berbeda dalam melihat hubungan negara dan agama,” imbuhnya.

Namun diakuinya bahwa saat pengislaman yang dilakukan para wali sedang berlangsung pada ajaran-ajaran kebatinan, banyak diantara proses tersebut belum selesai dan mereka keburu meninggal sehingga masih ada beberapa ajaran berbau kebatinan seperti kepercayaan pada Nyi Roro Kidul, Nyi Blorong, Mak Lampir dan lainnya sampai saat ini masih melekat dalam masyarakat.

Mantan cawapres tersebut juga meminta kepada masyarakat agar ketika berziarah juga memahami latar belakang, sejarah, dan perjuangan para wali dalam menyebarkan agama Islam di Indonesia, bukan hanya melakukan ziarah saja dengan berbagai ritual saja. Karena itulah kerjasama ini juga akan membuat film dokumentar dan buku tentang perjuangan para wali tersebut sebagai bentuk pendidikan kepada masyarakat.

Sementara itu Menbudpar Ir Jero Wacik menjelaskan bahwa industri pariwisata dampaknya langsung dirasakan oleh masyarakat. Para turis secara langsung membeli barang pada para pedagang, naik becak, menginap dan lainnya. Ini berbeda dengan industri minyak yang masuk ke APBN.

Diakuinya bahwa wisata juga memiliki ekses negatif. Karena itulah ia mengajak NU mengeliminir hal tersebut dan memberikan kesadaran bersama. Departemen Menbudpar tertarik bekerjasama mengembangkan wisata ziarah karena NU dikenal memiliki perhatian untuk melestarikan budaya.(mkf/alf)