Warta

Wapres Minta Pelajar NU Cegah Fundamentalisme dan Liberalisme

Rabu, 27 Mei 2009 | 09:55 WIB

Jakarta, NU Online
Wakil Presiden (Wapres) Jusuf Kalla meminta pelajar Nahdlatul Ulama (NU) membantu mencegah makin maraknya fundamentalisme dan liberalisme. Pasalnya, kedua paham tersebut bisa melahirkan gerakan yang dapat mengancam keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Wapres Kalla mengatakan hal itu saat membuka Lokakarya Pra-Kongres Ikatan Pelajar NU dan Ikatan Pelajar Putri NU di Istana Wapres, Jakarta, Rabu (27/5).<>

Menurut Wapres, fundamentalisme dan liberalisme tidak hanya ‘menyerang’ bidang agama, melainkan juga politik dan ekonomi. Jika hal itu terus dibiarkan, maka akan menjadi ancaman bagi stabilitas politik nasional.

“IPNU dan IPPNU, sebagai badan otonom NU, harus menjadi Islam moderat. IPNU dan IPPNU harus berada di garis depan untuk mencegah fundamentalisme dan liberalisme,” tegas Wapres di hadapan peserta Lokakarya Pra-Kongres yang merupakan utusan Pengurus Wilayah IPNU dan IPPNU se-Indonesia itu.

Ancaman terhadap keutuhan NKRI, imbuh Wapres, sesungguhnya telah terlihat dalam beberapa kasus konflik masyarakat di sejumlah daerah. Ia menyebutkan, di antaranya, konflik Poso, Ambon dan Aceh. Konflik tersebut, katanya, salah satu pemicunya adalah adanya gerakan fundamentalisme dan liberalisme.

Dijelaskan Wapres, konflik tersebut sesungguhnya tidak kaitannya dengan agama. Namun, kemudian ada pihak-pihak tertentu yang sengaja memanfaatkannya dengan melibatkan faktor agama sebagai pemicunya. “Ada yang berupaya menyeret-nyeret menjadi konflik agama,” tandasnya.

Di tempat berbeda, Peneliti pada Lajnah Ta’lif wan Nasyr NU, Ahmad Baso, mengungkapkan kekhawatiran yang sama. Menurut dia, saat ini makin marak kelompok dan gerakan yang ‘menyerang’ NU. Mereka kerap kali menuduh NU sebagai kelompok yang menganjurkan bid’ah (mengada-ada dalam beribadah).

“Mereka mengharamkan ritual-ritual yang sudah menjadi tradisi NU, seperti tahlil, peringatan Maulid Nabi, dan lain-lain. Ini sungguh sangat menyinggung perasaan warga NU. Padahal, tradisi-tradisi dilakukan sebagai bagian dari penguatan komunitas,” ujar Baso yang juga Anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia itu. (rif)