Warta

Zakat Haji Diakui Tak Ada Hukumnya dan Hanya untuk Sucikan Harta Jemaah

Sabtu, 24 September 2005 | 03:29 WIB

Jakarta, NU Online
Zakat Haji tidak ada hukum dan aturannya, namun dipungut untuk membersihkan harta orang-orang yang dianggap mampu berhaji sehingga lebih dapat mensucikan diri sebelum menunaikan ibadah haji.

"Karena orang yang menunaikan haji itu kan orang yang mampu, setidaknya memiliki harta yang cukup, sehingga perlu juga didorong untuk membayar zakat, misalnya 2,5 persen dari ongkos naik hajinya," kata Direktur Pengembangan Zakat, Depag, Tulus kepada pers di Jakarta, Jumat.

<>

Tulus mengaku, tidak ada hukumnya dalam Islam menarik zakat kepada orang yang akan berhaji, namun hadist nabi menyatakan orang yang berhaji selain harus mengerti manasik, juga memiliki niat yang ikhlas dan berangkat dengan ongkos dari harta yang halal dan baik.

Ia juga mengaku,  ketentuan zakat haji merupakan ketentuan Pemda atau Depag Provinsi, bukan ketentuan Depag pusat, sehingga besarnya pun tergantung dari ketentuan provinsi.

Namun ia juga mengaku tidak tahu-menahu kemana zakat haji yang ditarik oleh Kelompok-kelompok Bimbingan Ibadah Haji (KBIH) itu dikumpulkan, misalnya KBIH-KBIH di Jakarta yang memungut Rp300 ribu per jemaah untuk zakat, pihaknya berharap uang itu dikumpulkan ke Badan Amil Zakat Infaq dan Sadaqoh (BAZIZ) DKI.

"Tetapi jika pun tidak tentunya akan disalurkan kepada lembaga pengelola zakat lainnya atau orang-orang yang berhak, tetapi yang jelas itu bukan pungutan dari Depag," katanya.

Pihaknya, ujar Tulus, sangat menyesal karena potensi zakat umat yang mencapai Rp19,3 triliun, hanya terealisasi  Rp2-3 triliun saja, itupun yang melalui lembaga pengelola zakat hanya Rp350 miliar.

Ia mengusulkan, jika setiap jemaah haji ditarik 2,5 persen dari Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) secara nasional lalu dikalikan total jemaah 205 ribu per tahun, maka zakat yang dapat dikumpulkan per tahun bisa mencapai sekitar Rp125 miliar dan bisa dimanfaatkan untuk pemberdayaan ekonomi umat serta memerangi kemiskinan. "Tetapi sayangnya untuk ide yang baik ini resistensi masyarakat masih sangat besar," katanya.

Ia juga mengakui, kepercayaan masyarakat terhadap lembaga pengelola zakat masih kurang serta ketakutan bakal ada Dana Abadi Umat (DAU) kedua. Padahal Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) merupakan badan yang otonom meski sebelumnya dibentuk oleh pemerintah dari tingkat nasional hingga kabupaten dan bahkan kecamatan.

"Lembaga pengelola zakat juga banyak yang didirikan oleh masyarakat sendiri atau disebut Lembaga Amil Zakat (LAZ) misalnya Dompet Duafa atau Pos Keadilan yang jika masyarakat tak percaya pada lembaga bentukan pemerintah,  lembaga lainnya ini lebih independen," katanya.(ant/mkf)