Wawancara

Al-Qur’an Tak Cukup Hanya Dihafal

Senin, 16 April 2018 | 13:15 WIB

Banyak sekali pesantren tahfidz bermunculan saat ini. Tetapi, hal itu sejalan dengan berkembangnya monotafsir terhadap Al-Qur'an. Ayat-ayatnya dijadikan dalil untuk membenarkan tindakan radikal dan menyalahkan penafsiran lainnya.

Selain itu, masih banyak orang mengira bahwa bacaan Al-Qur'an itu hanya sebatas satu versi saja, padahal setidaknya yang sahih ada tujuh macam jenis bacaan. Perbedaan bacaan itu ternyata berkorelasi terhadap kehidupan.

Oleh karena itu, pada Rapat Kerja Nasional IV Jam’iyyatul Qurra wal Huffadh Nahdlatul Ulama (JQH NU), Jurnalis NU Online Syakir NF berkesempatan mewawancarai Ketua Umum JQH NU KH Abdul Muhaimin Zen sebelum acara penutupan di Pondok Pesantren Luhur Al-Tsaqafah, Ciganjur, Jakarta, Ahad (15/4). Berikut petikan wawancaranya:

Bagaimana pandangan Kiai terhadap orang yang hafal Al-Qur'an tetapi tidak paham maknanya?

Al-Qur'an rahmatan lil alamin ini berlaku untuk seluruh umat. Tetapi terjadi pada ayat yang sama, tetapi pemahamannya berbeda. Contohnya, aqim al-shalata liduluki al-syamsi ilaa ghasaqi al-laili wa qurana al-fajr (al-ayat). Ini mayoritas ulama ahlussunnah wal jama'ah memahami shalat sehari semalam itu lima kali. Tapi ada pihak lain memahami Al-Qur'an dari ayat yang ini, kewajiban shalat itu hanya tiga kali saja. Jadi, yang kita cari itu cara berpikirnya seperti apa.

Wa jahidu biamwalikum wa anfusikum, jihad. Satu ayatnya. Tetapi bisa melahirkan toleransi, bisa melahirkan rahmat, bisa melahirkan ketenangan. Tapi dari ayat ini juga bisa melahirkan kekerasan, perang, terorisme, ISIS, Al-Qaida. Itu karena beda pemahaman cara berpikirnya.

Misi kita di Nahdlatul Ulama, ini yang akan kita angkat dalam rangka memberikan pemahaman, minimal kepada anggotanya. Sementara memang tahap penghafal saja sudah dihormati dan banyak fadlilahnya. Tapi hanya dengan menghafal saja belum cukup, harus dibekali dengan pemahaman. Karena tujuan Al-Qur'an itu hudan linnas, petunjuk bagi manusia. 

Bagaimana supaya memperoleh petunjuk?

Itu harus dibaca, dipahami, dihayati, baru diamalkan. Kalau hanya dibaca saja tingkatannya baru dapat pahala, belum sampai sasaran.

Bagaimana perkembangan qiraat sab’ah saat ini?

Ulama membaca Al-Qur'an itu sebenarnya mempunyai imam, sama halnya fikih mempunyai imam. Kalau fikih imam mazhabnya itu Maliki, Hanafi, Syafii, Hambali, Abu Dawud, Abu Ja’far. Kalau dalam mazhab Qur'an itu ada Imam Nafi, Abu ‘Amr, al-Kisai, Hamzah. Kemudian riwayatnya Qalun, Warsy, al-Duri, al-Susi, Khalaf, Khalad, itulah ya. Masing-masing imam ini mempunyai riwayat dua.

Di Indonesia, yang berkembang ini hanya Imam Hafsh saja. Padahal banyak imam yang lain. Ketika ada orang lain datang dari Timur Tengah baca Al-Qur'an yang bukan Hafsh, ini menganggap salah, karena itu ketidaktahuan mereka, padahal itu mutawatir dan itu sah.

Ini perlunya kita mendidik masyarakat supaya melek, supaya tahu bahwa baca Al-Qur'an itu tidak hanya satu versi saja, itu tujuannya.

Belajar mengaji Al-Qur’an dengan berbagai versi itu, apa relevansinya terhadap kehidupan?

Untuk tingkat pemula, boleh saja hanya satu versi bacaan. Tetapi untuk kalangan menengah dewasa, harus tahu, harus mempelajari. Kenapa? Karena salah satu perbedaan dalam fikih itu sumbernya dari bacaan Al-Qur'an yang berbeda.

Kenapa orang wudlu itu ada yang menganggap kaki cukup diusap saja, ada juga yang mengatakan harus dibasuh, itu sumber perbedaannya ada di qiraat sab’ah dan sah dua-duanya.

Ini harus melek para pelajar ini, orang Indonesia harus cerdas. Apalagi Indonesia umat Islam mayoritas, miris sekali kalau masyarakatnya awam dengan Al-Qur'an. Harus cerdas, harus tahu. Okelah kalau orang awam tidak apa-apa cukup satu. Tapi kalau guru, menengah ke atas, kiai harus tahu.

Pada saat sambutan, Kiai menyebut bahwa cikal Musabaqah Tilawatil Qur'an (MTQ) dari Jam’iyyatul Qurra wal Huffadh Nahdlatul Ulama (JQH NU). Bagaimana sejarahnya?

Dulu, berdirinya JQH itu tahun 1951, yang mendirikan itu Kiai Wahid Hasyim. Beliau adalah seorang qari, seorang hafidz, seorang mufassir. Pas saat itu (jadi) menteri agama, semua organisasi kealquranan dijadikan satu.

Pada tahun 1964, JQH ini mengadakan Musabaqah Tilawatil Qur'an antar pondok pesantren se-Indonesia. Ini menghasilkan juara-juara, yakni Pak Aziz Muslim dari Tegal, kemudian Kiai Ahmad Syahid dari Bandung, kemudian Ahmad Musyaffa’ dari Jawa Tengah.

Dari MTQ ini dinilai untuk pembinaan masyarakat itu bagus sekali. Karena bagus sekali untuk membina masyarakat, menteri agama kala itu memandangnya patut diangkat menjadi kementerian agama. Menteri agama waktu itu Pak Muhammad Dahlan dari NU.

Pada tahun 1969, MTQ yang tadinya itu diselenggarakan oleh JQH NU, ini diangkat oleh Departemen Agama menjadi kegiatan MTQ nasional.

Ketika itu, ciri-ciri pesantren itu masih melekat. Golongan dewasa itu aliyah, golongan remaja itu tsanawiyah, golongan anak-anak itu ibtidaiyah. Awalnya seperti itu. Lama-lama dihilangkan, tahun 1975 istilah pesantren ini hilang, seolah-olah NU tidak berperan, padahal itu kita punya.

Kenapa musabaqah?

Itu untuk memberikan semangat. Kalau suruh ngaji saja malas, tapi kalau diiming-imingi ikut MTQ, kamu bisa pergi haji, orang tuamu pergi haji, gurumu juga bisa pergi haji. Ini tasji’ namanya, mendorong, supaya ada keinginan, termotivasi.

Dengan MTQ banyak hasilnya, Indonesia setiap tahun menghasilkan para juara. Dari juara itu mereka punya keinginan membikin pesantren, mengembangkan Al-Qur'an. Banyak santri-santrinya, besar manfaatnya.