Wawancara

Aliran “Sesat” adalah Buah Globalisasi

Jumat, 9 November 2007 | 12:09 WIB

Belakangan ini, aliran sesat tumbuh dimana-mana dan menimbulkan keresahan pada masyarakat. Apa sebenarnya yang melatarbelakangi tumbuhnya aliran sesat ini, dan bagaimana jika dikaitkan dalam konteks globalisasi dan kebebasan berekspresi, berikut ini wawancara NU Online dengan Khatib Aam PBNU yang juga Dirjen Bimas Islam Prof. Dr. Nasaruddin Umar di Gd. PBNU 6 November lalu.

Aliran sesat ini sebenarnya fenomena apa?

Saya tidak ingin mengatakan aliran sesat atau menyesatkan, walaupun kenyataannya nanti bisa dikatakan begitu, tetapi merupakan aliran yang tidak sejalan atau menurut istilahnya Gus Dur aliran yang salah menurut kacamata Islam. Nah ini merupakan fenomena universal, bukan hanya di Indonesia, tetapi juga di negara Islam lain seperti Pakistan, di Timur Tengah. Saya baru datiang dari Syiria, dimana-mana ada aliran sesat, cuma disana lebih soft karena hukumnya tegas. Tetapi kalau di sini, yang dulunya tiarap pada bermunculan, sebetulnya aliran lama, tetapi karena dulunya takut muncul, sekarang baru bermunculan.

Fenomena ini juga hanya dal<>am Islam, tetapi juga dalam agama-agama lain, sebagai contoh di Protestan, sekarang sudah sampai 323, ini peningkatannya sangat jauh. Budah hindu, bahkan konghucu juga, tetapi persoalannya, teman-teman disana kan tidak mengenal istilah murtad. Ini hanya dalam Islam jadi kayak apapun nyempalnya juga tidak ada masalah.

Konsep murtad, menyempat seperti apapun juga bisa ditoleransi, tetapi kalau dalam Islam yang sudah melanggar prinsip ajaran dasar, maka itu juga otomatis juga dikategorikan sebagai Islam yang tidak sesuai ajaran nabi.

Nah, khusus untuk ke depan, perlu kita lakukan pendalaman tertentu dalam obyek dakwah kita, perlu pendalaman materi dakwah kita, perlu pendalaman metode dakwah kita. Jadi ada tiga hal yang harus dilakukan oleh pemerintah dan ormas Islam, yaitu metode dakwah kita harus sesuai dengan kondisi obyektif, orang yang gampang terpengaruh adalah anak-anak muda, orang miskin, itu orang yang perlu mendapatkan pemahaman.

Bagaimana dengan hak setiap orang untuk mengekspresikan keyakinannya?

Betul ini hak asasi karena itu harus dijunjung tinggi, minoritas harus dihargai, UUD 1945 juga demikian bunyinya, universal human right juga mengatakan begitu. Tetapi jangan lupa, dimanapun juga di barat dan di Prancis pun juga, hak asasi ditegakkan sepanjang tidak bertentangan dengan hak asasi yang lain. Kita menghargai individu mereka, tetapi disaat yang bersamaan, kelompok minoritas ini justru menginjak-injak orang mayoritas juga, itu salah juga. Mayoritas tidak boleh anarkis, minoritas juga tidak boleh tiranik. Ini kan namanya hak asasi. Tapi kalau membela minoritas orang per orang tetapi tidak membela mayoritas, itu kan bukan hak asasi.

Contohnya, mereka mendeklarasikan dengan vulgar dan demonstratif, Nabi Muhammad sudah habis masa belakunya, jadi sudah kedaluwarsa. Maka dari itu, ia mendeklarasikan sebagai nabi. Apa itu tidak menyinggung yang mayoritas. Terus mendeklarasikan dimana-mana bahwa al yauma akmaltu lakum dinakum sebagi bukti bahwa nabi sudah selesai dan al qur’an perlu dilengkapi dengan pandangan rasul baru, itu apalagi sholat, puasa, haji, itu dianggap tidak wajib. Apakah tindakan seperti ini yang mengatasnamakan dirinya Islam tidak menyinggung perasaan mayoritas umat Islam?

Apa yang melatarbelakangi munculnya aliran-aliran seperti itu?

Latar belakangnya kedangkalan pemahaman keagamaan, kemiskinan, dan mungkin kebosanan terhadap rutinitas metode dakwah yang selama ini dijalankan, yang tidak memunculkan sesuatu yang baru, dan setelah mereka difatwakan murtad oleh Majelis Ulama, mereka akhirnya pulang, kembali ke ajaran agama. Mereka tidak tahu kalau itu, salah, mereka tidak tahu kalau ini melanggar hukum, menistakan agama lain.

Berarti ini otokritik terhadap kemapanan?

Kritik tetapi sekaligus fenomena global. Jadi kita tidak bisa menyalahkan Indonesia saja, pemerintah saja, Umat Islam saja, atau umat Islam saja. Karena ini adalah fenomena global. Ini anak kandung globalisasi.

Bisa tidak dibatasi dimasa yang akan datang?

Jusrtu ini kita lakukan, ormas islam harus melakukan konsolidasi, materi dakwah diperbaiki, metode dakwah diperbaiki, pendataan mendalam terhadap obyek dakwah. Masyarakat kan makin plural, makin berpengetahuan, jadi kalau motonon seperti cara lama, tidak akan ada satu kemajuan.

Aspek hukum bagaimana Pak?

Mengenai aspek hukum, perlu pendekatan komprehensif, mungkin pimpinannya perlu pendekatan hukum, tetapi anak buahnya yang ribuan perlu pendekatan dakwah, dan pendekatan hukum perlu pendekatan hukum yang efektif, jangan seperti Lia Aminuddin. Setelah dihukum kembali lagi dan tetap lagi mengembangkan ajaran itu, kan tidak efektif.

Maksud saya dari aspek perundang-undangannya perlu dipertegas dengan aturan baru sehingga ketika ada indikasi seperti itu bisa langsung cepat bertindak?

Majelis Ulama sudah membuat kategoari-kategori, tetapi apa yang disampaikan oleh MUI tidak serta merta ditindaklanjuti oleh pemerintah karena aspeknya bukan hanya hukum syariah, tetapi juga hukum positif. Jadi tidak identik dengan apa yang disampaikan oleh majelis ulama menjadi keputusan pemerintah. Itu harus melalui proses-proses tersendiri sesuai dengan koridor hukum kita. (mkf)