Wawancara

Dari Tilawah al-Qur'an, Koor Indonesia Raya, hingga Panggung Kesenian Khusus untuk Rakyat

Rabu, 22 Maret 2006 | 07:07 WIB

ACARA Musyawarah Nasional (Munas) III Jamiyatul Qurra' wal Huffadz NU dan Musabaqah Tilawatil Qur'an (MTQ) V antar pesantren seluruh Indonesia malam itu diistirahatkan untuk beberapa saat lamanya. Malam itu (18/3), para peserta Munas dan MTQ larut dengan sekitar 3 ribu masyarakat sekitar Pondok Pesantren (Ponpes) Al-Hikmah, Brebes.

Kini giliran para ahli al-Qur'an menyaksikan kebolehan para seniman kota Brebes, Tegal, dan sekitarnya dalam memainkan alat musik, lagu-laguan dan dagelan. Ada kelompok musik Balo Balo dari Kota Bahari Tegal sedang menyampaikan pesan-pesannya kepada para hadirin yang hadir.

<>

"Musabaqah Tilawatil Qur'an/ panggone neng pesantren Benda Bumi Ayu/ Tanggal wolulas bulane telu tahune ronngewu nem// Ayo dulur pada belajar ngaji// ayo dulur pada sembahyang mumpung durung disolati," begitu group Balo Balo menyampaikan pesannnya. (Musabaqah Tilawatil Qur'an/ bertempat di Pesantren Bumiayu Brebes/ tanggal 18, bulan tiga, tahun 2006/ Kawan mari belajar mengaji/ Kawan mari belajar sholat sebelum disholati).

Group seniman yang sering manggung ini bercerita, ada seorang jaka yang hendak meminang gadis tapi dia tidak bisa mengaji. Lha, dia tak ketinggalan akal. Dia mengucapkan kata-kata yang mirip bahasa Arab dan dilagukan seperti al-Qur'an agar bisa diterima calon mertua. "Ini namanya calon mertua dibodohi maling, makanya, ayo dulur pada belajar ngaji," kata Balo Balo dengan gaya seperti da'i beneran.

Para seniman yang manggung malam itu tidak dibayar, tidak pula membayar, sama dengan para penontonnya yang bersorak sorai. "Pesantren minta perwakilan-perwakilan, mereka datang sendiri," kata salah seorang panitia yang memandu acara. Ya, untuk bisa tampil di pesantren bersama-sama para ahli al-Qur'an saja mereka sudah bangga.

Para seniman berasal dari bermacam-macam aliran musik. Ada kasidah, marawis dan yang Arab-Arab itu, ada rebana shalawat, ada yang menggunakan musik dangdut asli, ada juga campur sari. Tapi sepertinya mereka bersatu membikin pinggul atau leher seakan-akan bergoyang. Alat-alat musiknya pun tanpa aturan. Ada rebana, gendang, seruling, gitar, piano, angklung, gamelan, dan lain-lainnya bercampur menjadi satu menghasilkan irama yang khas rakyat, "Cari hiburan kok pake membayar."

Mereka memakai bahasa Jawa, campuran Indonesia, plus sedikit Inggris. Para senimannya dari segala usia, tua-muda, laki-laki-perempuan. Bukan hanya dari masyarakat luar pesantren. Para santri putra dan putri pesantren Al-Hikmah pun ikut manggung. Dan ternyata mereka tidak harus membaca shalawat. Begitulah. Sebelumnya, saat pembukaan acara MTQ V, para santri ini dengan hidmat menyanyikan lagu Indonesia Raya diiringi orgen tunggal. Para santri dan hadirin dibawa ke tahun 1940-an saat lagu ini dinyanyikan pertama kali untuk memompa semangat kemerdekaan. "Wah para santri ini nyanyinya lebih bagus dari ABRI," Ketua PBNU KH. Hasyim Muzadi berkomentar.

Malam itu, KH. Nuril Huda, Ketua Pengurus Pusat (PP) Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (LDNU) menyampaikan ceramahnya di sela-sela pertunjukan. Belajar agama sambil menyimak seni rakyat dengan penuh sentuhan rasa: Ceramah rakyat.

"Kalau ada yang menyebut nama Nabi Muhammad, kita harus membacakan doa shalawat, allahumma shalli alaihi, peraturannya begitu. Tapi kalau yang dimaksud Muhammad itu Muhammad Sarijo Pak RT, ya, cukup dengan kata ‘yang terhormat’ saja," kata Kiai Nuril Huda, hadirin pun tertawa.

Ketua LDNU mengajarkan tata cara solat dalam perjalanan melalui cerita dan guyonon. Masyarakat paham. Kalau begini agama jadi mudah. "Agama kita ini kalau ibarat rumah sekarang ini gentengnya bocor, ya kita ditambal, jangan tinggal di rumah orang lain!" katanya. (a khoirul anam)