Wawancara

Hasyim Muzadi:Kalau dibiarkan, Negara Bisa Bubrah�.

Selasa, 12 September 2006 | 03:33 WIB

Nahdlatul Ulama kembali jadi omongan, kali ini karena mereka mengeluarkan maklumat setia pada UUD 45 dan Pancasila. Inilah Maklumat yang dihasilkan oleh Musyawarah Nasional Alim Ulama (MUnas) dan Konferensi Besar (Konbes) NU di Surabaya, akhir Juli lalu. Belakangan, Ketua PBNU KH Achmad Hasyim Muzadi, 62 tahun, mengeluarkan pernyataan keras terutama tentang maraknya peraturan Daerah (perda) bernuansa syariah. “Syariat Islam seharusnya ada dalam konteks civil society, bukan nation state,” kata Pengasuh Pondok Pesantren Al-Hikam, Malang. Ia khawatir formalisasi syariat Islam dalam perda hanya akan memicu perpecahan bangsa.

Ditemui pekan lalu di kantor NU, Jakarta, mantan calon wakil presiden dalam pemilu 2004 ini tampak bersahaja. Hari itu ia mengenakan kemeja batik dan celana warna gelap. Tutur bahasanya teratur. Terkadang ia meredang juga, meski tetap kental nuansa guraunya. “Wah, omonganku mbok bantahi kabeh (pernyataanku kalian bantah semua),” katanya kepada wartawan.

<>

Apa latar belakang dikeluarkannya maklumat NU?

Ini (salah satu) langkah NU meneguhkan kembali komitmen bernegara. Sebelumnya kami merasakan ada tarikan ideologi ke kiri maupun kanan. Kalau tidak diwaspadai, ideologi negara akan runtuh. Reformasi yang mengamandemen UUD 45 memiliki dampak ganda: menyejukkan demokrasi sekaligus menimbulkan problematika sistematik. Problem itu berupa terjadinya tumpang-tindih perundangan, munculnya liberalisasi pemikiran, maraknya kekerasan, dan demonstrasi terus-menerus.

Seberapa signifikan maklumat itu bagi kehidupan beragama di Indonesia?

Saya tidak dapat dengan serta-merta mengajak seluruh lapisan masyarakat. Sebagai Ketua Umum PBNU, saya tidak dapat mengajak orang lain sebelum warga NU melakukanya lebih dulu.

Anda melihat ancaman terhadap kesatuan Indonesia itu demikian keras?

Ya. Masalah krusial di Indonesia sepanjang masa adalah hubungan antara ideologi dan agama dan budaya. Setiap umat beragama berkewajiban menjalankan aturan agamanya, sementara negara harus menjamin pelaksanaan syariat secara bebas. Tapi kebebasan itu harus dalam dimensi kemasyarakatan dan tidak dinegarakan. Harap dicatat, syariat di sini bukan semata syariat Islam, karena seluruh agama memiliki syariat.

Dinegarakan? Maksud anda?

Dijadikan hukum positif. Semestinya sumbangan agama kepada negara dalam tataran tata nilai, bukan syariat. Kalau formalisasi yang dijadikan dasar hukum positif, negara bisa pecah, contohnya perda antikorupsi, judi dan pelacuran. Saya yakin semua agama melarangnya. Tetapi, jika itu disebut sebagai undang-undang Islam antikorupsi, orang beragama lain pasti marah. Jadi, yang diperlukan adalah substansinya, tanpa membawa simbol agama.

Bagaimana mensosialisasi maklumat itu? Faktanya, di daerah, perda syariat sudah marak?

Lho, sekarang perda daerah mana yang murni berdasarkan syariat? Tidak ada. Jangan langsung menuduh perda antiperjudian. Kalau perda itu dibuat untuk memberantas perjudian dan maksiat, memang harus didukung.

Jadi, apa sebenarnya apa yang Anda maksud denga perda syariat?

Yaitu perda yang dibuat dengan konsideran syariat agama tertentu. Tidak jadi masalah jika sebuah perda lahir untuk menjabarkan KUHP, tapi tidak perlukah bersyariat agama tertentu.

Pendukung perda syariat mengatakan perda itu muncul karena KUHP tidak efektif?

Oke, tapi tidak tepat jika solusinya dengan menerbitkan perda syariat. Ini kan soal implementasi KUHP di lapangan. Jadi, tuntutanya pada aparat penegak hukum, dan bukan pada peraturannya. Kalaupun ingin mengeluarkan perda untuk mem-break-down KUHP, jangan membawa simbol agama.

Jadi, masalahnya bukan di syariat, tapi pelaksanaannya?

Ya, orang beragama harus menjalankan syariatnya, tapi lakukan itu dalam dimensi kemasyarakatan dan jangan dijadikan hukum positif. Itu yang kami takutkan.

Artinya, jika perda di Tanggerang atau Depok itu tak mencantumkan konsideran pada syariat Islam, tidak jadi masalah?

Tidak jadi masalah. Perda itu akan seperti undang-undang antiperjudian atau undang-undang antikorupsi.

Perda di Tanggerang itu muncul bukan dari partai-partai Islam…..

Ini menambah bukti perda itu bukanlah Islamisasi dan hanya kepentingan lokal saja, atau dari pihak tertentu yang berharap mendapat angin di pemilu berikutnya. Orang-orang Islam yang mendukung perda ini hanyalah orang Islam yang ngebet pakai label agama. Padahal, tanpa itu pun perda tetap berjalan.

Kalau ada dalam KUHP, kenapa diterjemahkan dalam perda?

Apa salahnya melakukan break-down dengan perda, asal tetap merujuk pada KUHP? Ini tidak melanggar pada tata hukum legal-formal ataupun substansial.

Perda yang memasukan ko