Wawancara

Jadikan Pendidikan Sebagai Wadah untuk Membentuk Generasi yang Berbudi Pekerti

Kamis, 1 Juni 2006 | 03:24 WIB

Ketika pendidikan selama ini dianggap gagal membentuk watak anak didik yang berbudi, banyak yang menggali bagaimana proses pendidikan masa lampau yang ternyata berhasil membentuk watak anak didik yang berbudi ?. Walaupun sinisme terhadap pola pendidikan tradisional kerapkali muncul, namun realitasnya, pendidikan modern  juga tak lebih baik menanamkan nilai-nilai humanitas, malah bisa dikatakan melahirkan manusia robot yang individualistik. Berikut petikan wawancara Alifatul Lailiyah dari NU Online dengan peneliti sejarah, Agus Sunyoto. wawancara dilakukan dengan  penulis buku Suluk Abdul Jalil ini, saat ia bertandang ke NU Online, beberapa waktu lalu.

Sebagai sejarawan, Bisa diceritakan bagaimana proses pendidikan masa lampau menurut data sejarah yang anda lacak ?

<>

Sebetulnya pendidikan dimasa lampau  itu ya pendidikan ala pesantren tradisional. kalau ingin menggali data sejarah, ada baiknya kita melihat kembali melihat beberapa naskah keagamaan Syiwa-Buddha yang ditulis di jaman Majapahit, terutama yang terkait dengan pendidikan, khususnya yang menyangkut tatakrama hubungan guru-siswa. nah, ini kan menunjukkan bahwa pada masa lampau pendidikan mendapat perhatian khusus dalam ajaran agama.  karena itu dapat memberi wacana baru bagi pemahaman kita terhadap situasi dan kondisi kehidupan sosia-kultural-religus di Jawa pada era Majapahit

Apa saja naskah-naskah itu ?

Salah satu di antara naskah-naskah tersebut  adalah silakrama Wratisasana, naskah rontal berbahasa Jawa Kuno yang tersimpan di Fakultas Sastra Universitas Udayana (Codex 755 dan Codex.770) dan naskah rontal berjudul tingkahing Wiku yang disalin I Made Cambar di atas kertas.

sedang naskah Silakrama dan Tingkahing Wiku, adalah pedoman yang dijadikan acuan ulama untuk mengatur hubungan guru dengan murid. lsinya adalah peraturan-peraturan yang wajib diikuti oleh seorang Calon Alim Ulama Syiwa-Buddha yang menuntut Ilmu pengetahuan kepada seorang Ulama sepuh. nah. yang sangat mengejutkan dan sekaligus menarik untuk dikaji dan naskah-naskah tersebut, adalah terdapatnya kemiripan kalau tidak malah sama persis dengan adab yang mengatur hubungan seorang santri yang belajar kepada kyai sebagaimana dapat disaksikan di pesantren-pesantren salaf yang menggunakan rujukan kitab Ta'limul Muta'alim sampai saat ini. seumpama  naskah-naskah itu diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, orang akan mengira jika naskah-naskah itu adalah naskah didaktik karya seorang ulama beragama Islam.

Kalau boleh tahu, apa saja isi naskah Silakrama ?

 Secara substantif naskah Silakrama terbagi atas empat bagian, yaitu gurubhakti, yamabrata, niyamabrata, dan Aharalaghawa. Keempat bagian tersebut jika diuraikan isinya sebagai berikut:
 
pertama Gurubhakti, pada bagian awal naskah Silakrama diuraikan bab tentang Gurubhakti yang berisi tatatertib, sikap hormat dan sujud bakti yang wajib dilakukan para siswa kepada guru ruhaninya. Pada siswa, misal, tidak boleh duduk berhadapan dengan guru, tidak boleh memotong pembicaraan guru, menuruti apa yang diucapkan guru, mengindahkan nasehat guru meski dalam keadaan marah, berkata-kata yang menyenangkan guru, jika guru datang harus turun dari tempat duduknya, jika guru berjalan mengitkuti dari belakang, dsb. pokoknya Ketundukan siswa kepada guru adalah mutlak.

Yamabrata, Yang dimaksud yamabrata adalah aturan yang mengatur tatacara pengendalian diri, yaitu meliputi prinsip hidup yang disebut ahimsa (tidak menyakiti, tidak menyiksa, tidak membunuh), menjulu sifat krodha (marah), moha (gelap pikiran), mana (angkara murka), mada (takkabur), matsarya (iri dan dengki), dan raga (mengumbar nafsu). Di dalam naskah Wratisasana disebutkan lima macam yamabrata yang mencakup ahimsa, brahmacari, satya, aharalaghawa, dan asteya.

Niyambrata
Makna niyambrata tak jauh beda dengan yamabrata, yaitu pengendalian diri. Tetapi niyambrata memiliki makna tingkat lebih lanjut. Silakrama menyebut, niyambrata melarang wiku marah tetapi sudah pada tingkat wiku tidak sukamarah(akrodha). Secara ruhani, siswa selalu ingin berhubungan dengan guru (gurususrusa), memohon kebersihan batin (sausarcara), mandi tiap hari mensucikan diri (madyus acudhha sarira), bersembahyang memuja Syiwaditya, melatih menyemayamkan Tuhan didalam hati (maglar sanghyang anusthana), berdo’a (majapa), dan mahoma. Di dalam ilmu tasawuf, yamabrata dan niyambrata dapat dibandingkan dengan takhalli (usaha membersihkan diri dari nafsu-nafsu rendah –pen) dan tahalli (menghiasi diri dengan sifat-sifat tuhan-pen) sehingga seorang penempuh jalan ruhani tercapai: tajali (penyikapan diri –pen) memperoleh pencerahan sehingga mengetahui kebenaran sejati.

Awahaaralaghawa
Aharalaghawa adalah bagian dari niyamabrata yang bermakna tidak berlebihan. ini dalam konsep Jawa